Mohon tunggu...
Triana Agung
Triana Agung Mohon Tunggu... Lainnya - Riri

Let it flow.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Patriaki sebagai Penghalang Isu Kesetaraan Gender di Indonesia

4 Januari 2021   01:15 Diperbarui: 4 Januari 2021   16:00 3952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Indonesia, masih ada tuntutan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan rumah (seperti mencuci piring dan memasak). Tak hanya itu, ketika sebagian dari mereka tidak memiliki kemampuan ini, bisa dipastikan bahwa perempuan mendapatkan cap gagal dari masyarakat. Disadari atau tidak, di Indonesia fenomena budaya patriarki terus berkembang. Budaya semacam ini juga mempengaruhi kehidupan kita, misalnya munculnya masalah sosial yang membatasi masyarakat. Pekerjaan keluarga sangat beragam, mulai dari mengatur keuangan memasak, menyesuaikan selera setiap anggota keluarga, menjaga lingkungan keluarga tetap bersih dan asri, mendidik anak dan kebutuhan lainnya, serta menguasai keahlian berbelanja. Semua hal ini sepenuhnya dikendalikan oleh wanita. Sedangkan untuk laki-laki, mereka hanya perlu bekerja untuk mencari nafkah. Pemimpin keluarga merasa bahwa mereka tidak patut berkontribusi dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Sepanjang sejarah, dapat dipastikan bahwa perempuan memiliki peran yang lebih nyata dalam pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki adalah orang-orang yang meninggalkan rumah untuk mencari uang. Jika pembagian tugas yang disepakati tercapai, ini wajar. Namun pada kenyataannya, banyak perempuan yang dituntut bekerja untuk menambah penghasilan suami sekaligus menanggung beban pekerjaan rumah. Namun, ini tidak berarti bahwa laki-laki tidak membutuhkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan rumah. 

Konsep budaya patriarki sebenarnya memandang laki-laki sebagai peran tunggal, sentral dan semua penguasa. Patriarki yang dominan pasti akan menciptakan jurang pemisah antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan ini erat kaitannya dengan diri maskulinitas, sedangkan feminitas itu sendiri diabaikan dan dianggap lemah. Asumsi ini menahan dan mendiskriminasi perempuan. Seks dan gender pada prinsipnya memuat pemikiran yang membedakan jenis kelamin yang dimiliki oleh manusia. Menurut analisis feminis, ketidakadilan gender disebabkan oleh kesalahpahaman tentang konsep gender yang ekuivalen dengan konsep seks, meskipun kata "gender" dan "seks" dalam bahasa tersebut merujuk pada maksud yang seragam, yaitu penentuan jenis kelamin. Karena gender merupakan hasil konstruksi sosial, maka gender dapat Berubah menurut waktu, tempat dan latar belakang budaya. Namun hingga saat ini, masyarakat masih meyakini bahwa gender adalah hal yang wajar dan harus dan harus menjadi aturan Tuhan, sehingga tidak perlu dipertanyakan dan dituntut. Untuk alasan ini, telah menyebabkan ketimpangan antara pria dan wanita sampai batas tertentu. Misalnya, ada perbedaan tugas antara laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Pembagian ini menghasilkan ketidaksadaran diri dari salah satu pihak. Dalam masyarakat patriarki, perempuan lebih merasakan ketidakadilan gender daripada laki-laki. Jelas ada beberapa data yang menunjukkan situasi perempuan Indonesia. Pertama, Indonesia memiliki angka kematian ibu tertinggi di Asia Tenggara yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Kedua, perempuan menyumbang 67,9% dari total jumlah buta huruf selama 10 tahun, yang berarti jumlah perempuan yang buta huruf dua kali lipat dari jumlah laki-laki yang buta huruf. Ketiga, 48,8% penduduk Indonesia tergolong miskin, dan sebagian besar adalah perempuan. Keempat, angka KDRT meningkat setiap tahun. Berdasarkan data di atas, alasan ketidaksetaraan gender diyakini masih memiliki nilai patriarki yang kuat di masyarakat, dan pengalaman perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Dalam masyarakat saat ini, banyak perempuan mengalami proses marginalisasi dan pemiskinan peran sosial mereka dalam lingkup politik, sosial, ekonomi dan budaya. Wanita dianggap warga negara kelas dua. Wanita sendiri terkadang tidak mau menjadi yang pertama karena takut dihindari atau dikritik oleh pria, sedangkan wanita lebih suka menuruti pria. Hal ini terjadi karena pelabelan negatif pada jenis kelamin tertentu (yaitu wanita). Wanita dicap lemah, bodoh, dan emosional, label tersebut membuat wanita sulit untuk meningkatkan rasa percaya diri. Stereotip gender membatasi pemahaman kita tentang apa yang dapat dilakukan wanita dan apa yang dapat dilakukan pria. Misalnya, meski tidak selalu demikian, perempuan hanya hidup dalam dunia keluarga, sedangkan laki-laki bertanggung jawab untuk mencari nafkah. Selain itu, terdapat beberapa norma tentang wanita ideal dalam masyarakat yaitu wanita: lembut, halus, berdedikasi, rajin, patuh, cantik, hati-hati dan lain sebagainya. Pada saat yang sama, pria adalah maskulin: tidak terkendali, kuat, gentleman, strong, smart,  maskulinitas, dll, sedangkan yang lebih sehat adalah androgen, yang merupakan campuran dari karakteristik wanita dan pria, di antara keduanya. Ada perbedaan besar antara satu orang dengan orang lainnya. Di antara berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang aktif mengadvokasi dan menjalankan hak-hak perempuan, budaya patriarki masih berlanjut hingga saat ini. Praktik ini terlihat dalam aktivitas keluarga, ekonomi, politik dan budaya. 

Oleh karena itu, hasil praktik tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Tentu hal ini membawa ketidakadilan bagi perempuan. Pada bagian ini, dominasi laki-laki sangat terlihat, karena budaya patriarki menciptakan struktur sosial dimana perempuan menjadi lemah dan menderita luka hati atau fisik. Artinya perbedaan sosial dan biologis telah mengarah pada konsolidasi mitos, stereotip, aturan, dan adat istiadat yang menstigmatisasi perempuan dan mendorong kekerasan. Di Indonesia hal ini menunjukkan bahwa laki-laki memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sejarah bangsa juga mengungkap fakta bahwa perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan (kecuali perempuan ini berasal dari kalangan bangsawan), apalagi bekerja di luar rumah atau berpartisipasi dalam birokrasi. Oleh karena itu, R.A Kartini, seorang bangsawan kelahiran Jepara, melancarkan kampanye untuk memperjuangkan pembebasan perempuan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana sejarah telah ditunjukkan, perempuan adalah orang-orang yang termarjinalkan, paradigma ini masih mendominasi hingga saat ini, sehingga orang selalu menganggap perempuan itu lemah dan tidak kompeten.

Inilah fakta betapa kuatnya gerakan feminis Indonesia, namun sulit untuk menghilangkan budaya patriarki yang telah dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Meski perempuan kini bisa mendapatkan pendidikan dengan leluasa, namun kembali setelah menikah, mereka harus bisa membagi tugas, padahal bias gender ini disebabkan oleh struktur masyarakat itu sendiri. Meski telah lahir beberapa generasi dan terpengaruh oleh perkembangan global, mereka tidak memiliki perlawanan terhadap kaidah budaya patriarki. Mereka menghadapi suatu kebiasaan, bahkan jika beberapa dari mereka mencoba untuk menghilangkan situasi ini, mereka tidak dapat menempati posisi yang lebih tinggi dari laki-laki. Jika penyelenggara negara struktural tidak peka gender, dan isu-isu yang berkaitan dengan perempuan itu sendiri dan masyarakat masih ada dalam masyarakatnya dengan ketidaksetaraan gender dalam waktu yang lama, maka esensi prasangka gender tidak akan menjadi keadilan gender. Perjuangan perempuan untuk menghentikan institusi yang tidak adil (ketidakadilan gender) bukan hanya perjuangan antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga perjuangan melawan sistem dan struktur yang tidak adil dalam masyarakat dan budaya patriarki yang distigmatisasi secara negatif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun