Mohon tunggu...
Tria saputri simamora
Tria saputri simamora Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Karena semua ruang memiliki kisah, maka mencoba merawat semua melalui tulisan. Bagi yang mau beri saran dan kritik dapat email ke triasimamora5@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Kisah di sanggar Tari Nauli

9 November 2016   16:03 Diperbarui: 9 November 2016   16:10 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sanggar tari Nauli selalu ada beberapa anak-anak untuk latihan menari, dari mulai anak-anak berumur 5 tahun sampai dengan umur maksimal 17 tahun. Nama sanggar nauli ini memang berasal dari penggalan namaku yang hampir tidak pernah orang lain memanggil diriku dengan nama itu tetapi, bagiku penggalan nama ini begitu istimewa dan tak pernah seorangpun bertanya mengapa diriku menggunakan nama itu untuk nama sanggar.  Bangunan sederhana yang terletak di pinggir jalan yang mayoritas dipenuhi dengan  ornamen ukiran kayu-kayu. 

Mengingat aku tak punya keahlian dalam mendesain ruangan maka bangunan sanggar ini aku buat seperti replika dari sanggar masa waktu aku kecil berlatih tari, yang diperindah dengan terpampang beberapa lukisan yang notabene adalah hasil pemberian dari teman - teman dan orang tua-anak didik yang mungkin mereka merasa bahwa dinding-dinding di sanggar berhak diberi keindahan. 

Seperti layaknya sanggar tari lainnya ruang latihan dibagi menjadi dua, walaupun wujud kedua ruangan ini sama persis, seperti dinding yang diselimuti cermin, ruang tunggu untuk orang tua, yang membedakannya hanya ruangan pertama diperuntukkan untuk anak-anak dibawah 10 tahun dan ruang lainnya untuk anak berumur lebih dari 10 tahun. Satu-satunya ruangan yang tidak dipergunakan untuk umum hanya   ruang di lantai 2, ruangan ini khusus untuk penyimpanan kostum dan terdapat 2 kamar yang kutempati sendiri dan seorang pelatih tari dari luar kota yang sengaja tinggal di sanggar, Rika namanya.

 Selama kurang lebih 12 tahun tari yang diajarkan pada sanggar ini adalah tari tradisional, karena memang disitulah keahlian diriku. Banyak anak-anak berlatih disini, dengan alasan selain mengasah bakat mereka masing – masing, sebagian anak juga memang berlatih disini karena adanya unsur pemaksaan dari orang tua mereka yang berpendapat bahwa anak harus diberikan pendidikan minat-bakat dari sedini mungkin, gerakan terpaksa itu terlihat dari cara anak-anak itu berlatihan, mimik dan gerak “pemaksaan” itu sungguh tidah dapat disembunyikan, tetapi itu tidak menurunkan semangat diriku dan pelatih lainnya untuk mengajarkan “kebahagiaan” ketika gerak itu keluar dari hati. 

Meski ada pelatih yang mengajar, tidak jarang sebagai pemilik sanggar sekalipun, aku terjun langsung mengajar tari kepada anak-anak. Bergerak dengan menggunakan wiraga, wirama, dan wirasa itu sudah menjadi obat yang manjur tersendiri bagi tubuhku bahkan aku dedikasikan hidupku untuk memberikan obat itu kepada orang lain.

Hari itu menjelang sanggar tutup, seperti biasa malam ini Rika, pelatih tari yang tiggal di sanggar mulai merapikan properti tari dan sound yang digunakan latihan tadi sore  dan aku membantu memeriksa lainnya yang mungkin bisa aku bantu. Tetapi malam itu ketika aku memeriksa ruang yang biasanya digunakan orang tua untuk sekedar menunggu anaknya yang berlatih atau sekedar berceriwis ria dengan ibu-ibu lainnya, aku melihat sosok laki – laki sedang duduk tenang dikursinya, berkaca mata dengan rambut beruban putih itu dengan posisi setengah menunduk. Dengan wajah ramah aku bertanya,

Maaf pak, jika anda menunggu, kurasa sudah tidak ada anak-anak lagi yang…

Belum sempat ku selesaikan perkataanku, bapak itu menoleh kepadaku.Wajah senyumku langsung berubah seketika. Mataku tak berkedip, aku mematung serasa semua darah naik keatas otakku, Aku sangat mengenal wajah itu, tidak mungkin aku lupa wajah itu, wajah itu hanya menjadi versi wajah tua dari wajah tampan yang aku ingat waktu muda dulu. Kami saling bertatapan dan entah apa yang ada dipikiranku, Aku langsung pergi meninggalkan dirinya dan masuk ke ruang latihan, dan berharap apa yang kulihat itu tidaklah nyata, dan nyatanya air mataku keluar dengan seiring kubuka lagi kenangan dengan sosok itu. Sampai aku menyadari dia menghampiriku.

Sepertinya aku pernah mengenal seseorang yang mirip dengan anda. Apakah nauli adalah nama anda?

Aku menahan langkahku, rika yang ada di ruangan itu seperti langsung memahami kondisi, tanpa mengeluarkan kata-kata, ia langsung keluar dari ruangan tari yang hanya ada aku dan laki-laki itu. Dan ketika ku menoleh ke belakang, laki-laki itu sudah ada dekat di belakangku. Dengan wajah tenang aku membisu tetapi dadaku masih bergemuruh.

Maaf jika aku mengganggu, jika kau tidak keberatan, apa kita bisa bicara? Katanya dengan ragu-ragu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun