Mohon tunggu...
Tri Agustini
Tri Agustini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman

Penyuka musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ingatan yang Hilang

1 Agustus 2022   07:56 Diperbarui: 3 Agustus 2022   07:27 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku dimana?" batinku.

Mengulang rasa dua tahun silam. Sore hari itu, selagi menjaga toko sandal milik salah seorang dari Padang. Aku berdiri di teras toko mengintai penjual yang ada di sekitar.

Pakis. Ya, aku ingin sayur hijau bergetah itu. Ku tujukan langkah ke tukang sayur yang ada di seberang jalan. Sampai di pinggir jalan aku terdiam. Sial, ternyata aku belum gajian. Ku tatap penuh arti uang sepuluh ribu di tangan. Akhirnya ku urungkan niat mendatangi si pakis itu.

Menjadi orang dengan keterbatasan finansial sepertiku tentu saja untuk mengeluarkan uang serupiah itu butuh pertimbangan yang sangat matang.

Kembali ke dalam toko, tanganku refleks mengambil kemoceng. Bersenandung sembari membersihkan sandal yang berdebu. Maklum, tokonya berada tak jauh dari pinggir jalan. Debu jalanan sudah menjadi hal yang biasa di daerah sana. Setiap truk lewat ada saja debu yang masuk. Ya, karena itulah aku dipekerjakan.

Sembari menunggu orang singgah ke toko, bayangan sayur pakis masih terlintas. Aku bangkit lagi. Ku tengok sudah jam 9 malam lebih, warungnya sudah tutup. Tak sampai satu jam lagi waktu kerjaku habis. Akhirnya keinginan membeli pakis terpendam, kulanjutkan membereskan barang bawaan dan bersiap tuk pulang.

Akhirnya pintu toko sudah waktunya ditutup. Akupun pulang dengan motor Vega kesayanganku. Motor keluaran 2008 itu sudah tiga kali diturunkan. Vega itu adalah motor bekas yang dibeli oleh sepupuku, jatuh ke kakak pertamaku, lalu ke kakak keduaku dan akhirnya aku.

Hari itu adalah hari sabtu malam minggu seingatku. Selanjutnya aku lupa. Jika aku tak salah ingat, aku terbangun di hari Senin. Bukan di kasurku, bukan di kamarku, bukan di rumahku. Kepalaku pusing, bumi ini berputar. Perutku mual. Belum sampai aku terduduk di pembaringan, aku menyerah.

Aku penasaran. Ku buka perlahan mata yang terasa bengkak dan rekat ini. Serasa seperti dalam sinetron, ketika si aktor siuman hanya ada cahaya yang tampil di layar kaca seakan mengikuti kedipan mata.  Kali ini aku aktornya.

Belum sampai menyimpulkan keberadaanku, terdengar langkah memasuki ruangan.

"Gimana? Masih mual atau ada muntah lagi?" tanya-nya.

Aku pun tahu sekarang. Rumah Sakit. Terlalu mewah jika ini di puskesmas tempat tinggalku. Ruangannya luas, ranjangnya empuk. Dokternya pun memakai APD lengkap bersamaan dengan asistennya.

"Iya, masih mual dan pusing dok. Beputar-putar," jawabku. Selanjutnya aku tidak tahu.

Teringat kembali ketika aku bangun dari tidur yang entah sudah seberapa lama. Ku lihat Mamakku tidur di lantai beralaskan ambal. Kedinginan, beliau menggigil. Ku berikan selimutku. Aku tahu beliau memang terbilang mudah mengigil, namun entah kenapa rasanya melihat beliau meringkuk sendiri di lantai seperti itu mengiris hatiku.

Di waktu yang ku tebak adalah sepertiga malam, ku raba nakas di samping ranjang. Gerak tangan yang terbatas karena infus, ku dapati hp pemberian kakakku. Ku perhatikan masih bagus tidak ada yang pecah atau lecet. Lalu kenapa aku berada di sini? Setelahnya aku berhenti memikirkan penyebab kenapa aku berada di rumah sakit itu, pusing rasanya. Yang terpenting sekarang adalah aku harus cepat sembuh dan keluar dari rumah mahal ini. Aku tahu, pasti tidak sedikit biaya yang diperlukan.

Terdengar sedikit percakapan Mamak dengan sanak saudara via telpon. Yang ku tangkap adalah ini tidak ditanggung BPJS, dan karena cerita-ceritanya itu aku menyimpulkan bahwa aku kecelakaan.

Mendengar itu, kalkulator di otak otomatis bekerja. Salah satu alasan terbesarku bekerja sembari kuliah adalah untuk mengurangi beban orang tuaku. Tapi apa ini?

Hingga 2 tahun telah berlalu, kini aku masih tidak ingat kenapa aku kecelakaan, lokasinya dimana, dan setelahnya seperti apa, AKU TIDAK TAHU. Hanya katanya, katanya, dan katanya, sebab aku tidak tahu pasti.

Setiap kali dokter visit, aku dengan semangat menjawab TIDAK.

"Gimana hari ini, ada keluhan?" TIDAK. "Kepalanya masih sakit? Pusing? Mual? TIDAK! Dengan tegas kukatakan TIDAK. Aku hanya ingin cepat pulang ke rumah. Dari kecil aku selalu berkeinginan untuk tidak merepotkan kedua orang tua, tidak membebaninya, karena aku tahu bagaimana kondisi keduanya tertatih-tatih mencari kehidupan. Mungkin nanti akan ku ceritakan bagaimana kecil aku hidup. Sebelum aku benar-benar lupa sepenggal kisah hidupku, yang akan ku ceritakan dengan bangga suatu saat nanti, tanpa tangisan.

Di setiap takdir yang dijalani ada saja hikmah yang bisa kita ambil, begitu kata orang bijak. Jujur saja, aku mensyukuri satu hal, karena itu aku memiliki pengalaman dirawat di rumah sakit. Ya, meskipun aku tak menikmati sepenuhnya. Setidaknya jika ada yang bertanya apakah ada yang pernah dirawat di rumah sakit, akan ku jawab dengan semangat, YA!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun