Mohon tunggu...
Tri Febi Maharani
Tri Febi Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang gemar membaca dan menyalurkan isi kepalanya yang ruwet lewat tulisan

I think it is right that as a woman should be able to make decisions about our own due.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Dari Perempuan untuk Perempuan Lawan Queen Bee Syndrome

6 Desember 2021   09:05 Diperbarui: 6 Desember 2021   16:37 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber; kibrispdr.org

"Didiklah anakmu untuk menjadi anak yang baik 10 tahun sebelum ia lahir."

-K.H Mukhlis Hudaf (Pimpinan Pondok Pesantren Mambaul Hikam Klaten, Jawa Tengah)-

Tulisan ini untuk para perempuan yang mengambil peran, yang berkontribusi, berkarya dan berdedikasi dengan suka rela di segala bidang dengan berbagai cara. Tanggal 08 maret 2021 kemarin adalah hari perempuan sedunia. Seberepa pentingkah peran kita dikehidupan ini sampai-sampai duniapun membuat hari khusus untuk perempuan? Seistimewanya kita, kadang kita suka lupa dengan kodrat yang memang Allah ciptakan kepada kita, bahwa kita itu istimewa. Keberadaan, eksistensi dan peran serta konstribusi kita memang menentukan masa depan dan menjadi tolak ukur sebuah peradaban. Dari rahim perempuan lahir generasi penerus, yang menentukan nasib bangsa. Dari rahim perempuan seluruh dedikasi yang bisa membawa maju perekonomian negeri akan terealisasi. Dari rahim perempaun muncul ilmuan-ilmuan baru yang haus akan ilmu, yang akan menuntun Indonesia agar lebih bermutu. Lantas, sebagai perempuan sudahkah kita siap untuk menjadi peradaban itu? Sadar gak sih, kalau kita suka terkurung dengan keadaan kita sendiri, sebagai perempuan kita suka dirundungi rasa tak percaya dengan kemampuan sendiri, tak jarang kita suka mengaggap lemah diri kita sendiri. Tak heran, karena menurut fakta sukses berkorelasi positif untuk laki-laki namun kerap membawa konsekuensi negatif untuk perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilfelder (1980) dari The Ohio State University diperoleh bahwa wanita memiliki Fear of Success yang lebih tinggi daripada pria. Pernyataan ini deperkuat oleh Matlin (2012) bahwa pengusaha memiliki pandangan yang negatif terhadap kemampuan pekerja perempuan.

Jangankan mencoba untuk menjadi pemimpin tersohor, yang hanya sekadar menegejar ambisi kecilpun kerap ditentang dan dibilang melawan tradisi. Segala cemoohan, cibiran dan segala macam takaran yang orang lain keluarkanpun sudah menjadi makanan sehari-hari. Seterkurung itukah kita dengan keadaan kita? Menjadi berhasil bagi perempuan bisa saja memicu hal negatif, dibilang begini, dianggap begitu, ditakar macam-macam. Tidak ada yang tau tentang diri kita kecuali diri kita sendiri. Tanpa sadar, kita sesama perempuanpun bisa mencurigai satu sama lain, menganggap gerak gerik sejawat sebagai ancaman bahkan sebuah tentangan. Mungkin, karena stigma bahwa hidup adalah sebuah ajang kompetisi dan perempuan menempati ruang yang didominasi oleh laki-laki. Padahal Allah swt telah menjelaskan bahwa pada fitrahnya kita dan lelaki itu sama dimata-Nya, dalam kalam sucinya berbunyi "maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyak manusia tidak mengetahui." (QS. Ar Rum:30)

Ada fenomena yang kita sebut sebagai Queen Bee Syndrome, Pernah dengar istilah queen bee syndrome? Sindrom ratu lebah ini pertama kali didefinisikan oleh G.L. Staines, T.E. Jayaratne, dan C. Tavris pada tahun 1973. Istilah ini menggambarkan seorang perempuan dalam posisi otoritas yang memandang atau memperlakukan bawahan lebih kritis jika mereka perempuan.

Pernah nonton film The Devil Wears Prada? Di film tersebut sosok Miranda menggambarkan stereotip seorang queen bee. Dia digambarkan sebagai perempuan dengan jabatan tinggi dan selalu kritis terhadap bawahannya, khususnya bawahan perempuan. Seorang queen bee seperti Miranda merupakan potret perempuan yang egois, seenaknya sendiri, dan haus akan kekuasaan. Mungkin di kantor atau di organisasi sekolah atau dimanapun bisa menjumpai seorang queen bee seperti ini. Atau jangan-jangan malah kita sendiri yang memiliki sindrom queen bee? Menurut hasil penelitian Workplace Bulliying Institute (2018) 58% perundung perempuan adalah perempuan, dan hampir 90% dari mereka memilih perempuan lainnya sebagai korban. Hal ini kerap terjadi dimana saja dan kapan saja, tak hanya dilingkup pekerjaan. Dilingkup organisasi sekolahpun mungkin bisa saja terjadi, saat ruang organisasi yang kita tempati didominasi oleh laki-laki. Maka tak ayal jika queen bee syndrome akan ada, ingin selamanya menjadi ratu dan tak mau eksistensinya diganggu.

Padahal menjadi positif bukan tanda bahwa kita lemah, tak perlu menjadi sesosok Miranda yang otoritasnya harus dituruti penuh oleh orang lain. Mendukung mereka yang berhasil bukan berarti kita mengakui kegagalan. Kita harus yakin bahwa kesuksesan tak perlu diperebutkan dan kerja bersama bisa lebih didahulukan, perempuan bisa untuk ikut berpartisipasi mengeluarkan potensi diri, berkontribusi kepada negeri. Sudah banyak kita jumpai para perempuan yang speak up didepan publik, membuat perubahan yang signifikan terhadap perekonomian, pendidikan dan kemajuan bagi Indonesia, contohnya Angkie Yudistia, Najwa Shihab, Khofifah Indar Parawangsa, Risma Trimaharini, Putri Tanjung dan masih banyak yang lainnya. Sudah saatnya kita melawan sindrom ratu lebah ini, bagaimana upaya kita untuk terus merangkul satu sama lain dan membuat lingkaran kepercayaan antar sesama perempuan. Menunjukkan seberapa penting peran dan kontribusi kita untuk bangsa sebagai peradaban dunia.

Memang, banyak yang harus diperbaiki. Tapi, kita bisa memulai dari diri kita sendiri. Harga diri tak ditentukan dari orang lain melainkan pengukuran dari diri sendiri serta paham apa yang hendak dikejar dan direalisasikan. Mereka yang tak berusaha untuk menghargai satu sama lain tak punya kesempatan untuk memahami dan mengerti diri sini apalagi menghakimi sesama perempuan. Perempuan harusnya saling bergandengan tangan, bukan malah saling menjatuhkan. Mari, kita bicarakan pencapaian prestasi dan kinerja teman perempuan kita. Mengapa itu perlu? Karena menurut fakta oleh Unlocking The Full Potential of Women (2011) menunjukkan bahwa laki-laki dipromosikan karena potensi yang dimilikinya, sedangkan perempuan hanya berdasarkan performa yang sudah dibuktikannya. Mari, lebih menunjukkan empati dan kemurahan hati, menjauhi kecemburuan dan menghindari runcingnya perasaan bersalah yang kerap mendera kita sebagai perempuan. Mari, kita buktikan kepada dunia bahwa kita memang betul diciptakkan untuk membangun peradaban bangsa. Dengan mengesampingkan stigma-stigma negatif yang telah menjadi tradisi di lingkungan kita. Kita semua sama, Allah telah menciptakan kita sama, kadar yang berbeda-beda tidak boleh menjadikan sebagai penghalang kita sebagai perempuan untuk berkarya, terus asah diri dan gali potensi, persiapkan diri dengan akhlaq yang qur'ani untuk menjadi perempuan muslimah pembangun arsitek peradaban yang dari rahimnya lahir generasi emas pengharum bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun