Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Membekas di Antara Para Bekas

29 November 2018   08:15 Diperbarui: 29 November 2018   08:35 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Repro: Buku Tentara Pelajar Masuk Kota Semarang.

kami bertolak, kami tukar pena serta kitab dengan sangkur dan bedil untuk menyelesaikan dharma kami...mulai hari ini papan nama sekolah kami telah berobah...

(Kenangan Radjab saat pertama menjadi bagian Tentara Keamanan Rakyat dari lingkungan pelajar di kota Surabaya).

Kesetiaanku pada Bangsa dan Negara dari buaian sampai liang lahat.

(Semboyan Tentara Pelajar)

Tentara Pelajar adalah satu dari banyak jejak sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka pernah jadi bagian dari TNI sebagai Brigade 17. Masa keaktifan pasukan tempur (Kombatan), petugas PMI atau peran lain yang dilakukan oleh  para pelajar/mahasiswa berbakti  ini sangat pendek, paling lama sekitar 5 tahun ( Juli 1946 sampai Maret/ April 1951). Setelah periode itu, mereka benar-benar menjadi bekas. Karena ada program KUDP  yang memberi pilihan meneruskan karir militer sebagai TNI/ Polri atau kembali ke sekolah/ kuliah menyelesaikan studinya yang terbengkalai. 

Dalam blog ini  , saya coba merangkai kembali kenangan masa lalu yang sempat diingat dan/atau dicatat dari sekian peristiwa. Meskipun mendiang kedua orang tua dari kesatuan ini, tidak mudah mengorek keterangan yang cukup jelas dan runtut. Almarhum ayah hanya bercerita tentang perjalanannya bersama Solichin GP baik secara pribadi maupun dengan kesatuan Tentara Pelajar Siliwangi melakukan longmarch dari Bandung lewat kantong-kantong gerilya di Jawa Tengah. Singgah di Purworejo dan ikut pergerakan pasukan di sana dalam beberapa bulan. Dengan bekal kemampuan berkomunikasi dan keberanian remaja jelang usia dewasa di jaman itu, narasinya menjadi kabur untuk ditelusuri jejaknya. Lebih banyak bercerita saat ikut kompi Prakoso bersama Jayadi Jepang di TP Solo. Cerita beliau akhirnya lebih terbuka saat saya ikut dalam proses pembentukan PKB-PPK (Persatuan Keluarga Besar Pelajar Pejuang Kemerdekaan) yang tak pernah terwujud secara formal. 

Banyak cerita yang sebenarnya layak untuk menguatkan wawasan masyarakat awam sengaja dikubur dalam-dalam karena berbagai alasan. Politik sektarian di jaman demokrasi terpimpin dan terutama di masa Suharto berkuasa hampir mutlak yang melahirkan banyak " penjilat" atau "pendusta" membuat jengah dan muak orang-orang yang benar-benar bertaruh nyawa membela Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Dalam setiap pertemuan reuni kecil atau besar, di antara para pembesar yang senantiasa menjadi "bintang", ada sebagian cerita sedih dan pilu dari rekan-rekan seperjuangan yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan karena bertahan pendirian : tak ingin balas Budi atau belas kasihan rekan, dan para bintang. Apalagi mengemis kepada pemerintah. Saya membela tanah air dan bangsaku bukan permintaan siapapun. Itu murni panggilan jiwa. Tak ada kontrak, selain bersedia meregang nyawa untuk bela bangsa dan negara. Jadi, tak sepantasnya meminta imbal jasa dari pihak manapun. Yang mau seperti itu , biarlah. 

Ada juga cerita lain yang lebih menyayat hati saat seseorang yang benar-benar layak menerima Skep Veteran dan rela meminta kesaksian dari "para bintang" untuk sekedar menguatkan daya. Dengan perasaan yang bercampur aduk antara enggan dan hormat, tersanjung atau dihinakan, beliau melangkah ke Kaminvet (Kantor Administrasi Veteran) dengan kendaraan umum dan berjalan kaki. Di kantor yang semestinya memberi kemudahan justru yang terjadi sebaliknya hanya karena urusan sepele: recehan. Jika tak diberi recehan itu, tanpa ragu, mereka akan menghilangkan sebagian dokumen yang "bernilai".  Mentalitas recehan inilah yang sebenarnya menjadi benalu negeri. 

Negeri Indonesia didirikan oleh para syuhada dengan kesadaran kolektif: penjajahan yang tidak sesuai dengan nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Mereka berjuang mewujudkan kesadaran itu dengan kesadaran lain bahwa kebhinekaan adalah anugerah Yang Mahakuasa. Karena pengingkaran atas kebhineka-tunggal-ikaan pada dasarnya adalah penghapusan kesadaran kolektif itu.

Sumber lain : Satu, Dua, Tiga , Empat , Lima

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun