Mohon tunggu...
dabPigol
dabPigol Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nama Panggilan

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Asa di Tengah Bencana

8 Oktober 2018   02:00 Diperbarui: 8 Oktober 2018   07:36 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak menggambar di papan, menyalurkan imajinasi dan melatih kepercayaan diri. @hanitobimbelkebumen


Perjalanan hidup manusia tak ada yang pernah tahu selain Yang Maha Tahu. Bencana alam acapkali (hanya) dipandang dari sisi negatifnya berupa korban jiwa dan luka, kerusakan beragam fasilitas dan infrastruktur serta duka dan beragam ekspresi kesedihan. Bagian musibah yang mengemuka. Sementara itu, selalu ada hikmah atau bahan pembelajaran hidup dan kehidupan yang membawa kemanfaatan di masa depan bagi yang mau berpikir. Suatu proses perjalanan yang semestinya dilakukan baik oleh penolong, korban maupun pemerintah selaku penyelenggara negara. 

*****

Sebagai manusia biasa, kita hanya dapat berharap dari segala usaha yang mengiringi perjalanan itu. Ada kalanya muncul naluri berseberang jalan dengan nurani. Ketika naluri mengiyakan dan nurani menolak, ada jalan tengah yang harus dilalui. Tidak semata jalan  yang membagi rata diantara dua sisi itu. Tentunya setelah berupaya sebatas kemampuan menghitung seberapa besar daya dan asa ada dalam genggaman tangan kita.

Dalam kondisi daya yang relatif rendah pasca tertimpa bencana misalnya, hampir (selalu) ada upaya kecil untuk  berbenah diri dan melangkah ke depan meski harus tertatih. Sedikit daya dan sejumput asa harus ditegakkan agar langkah tak lagi goyah. Semangat petarung (naluriah) tiada lelah harus terus dipompakan agar saat jatuh tak hilang akal. Naluri acapkali hadirkan daya di antara doa dan air mata. Tak berharap muluk berdiri tegak, apalagi berlari. Entah berapa kali jatuh, bangun dan memulai langkah baru.

Di antara rasa ngilu tertimpa bencana. Di sela suara rintihan hati sedih kehilangan sesuatu yang pernah singgah dalam kehidupannya.  Ada tetes air kehidupan hadir, menembus kerasnya guncangan. Maka, tegakkan kepala dan berteriak sekeras-kerasnya: " aku tak ingin kasihani diri..". Itulah kunci utama menuju masa depan.

Biarlah luka yang menggores rasa itu masih menganga karena obat yang tertelan begitu pahit. Tapi aku tak ingin mati selagi mampu berdiri. Dan tetes air kehidupan itu kian mengalir ke dalam darah, jantung dan berproses di kalbu. Ketika kita jauhkan rasa kasihan diri yang melemahkan asa dan daya. Itulah hadirnya sang nurani.

Di balik musibah atau bala', selalu ada anugerah bagi yang (mau) berpikir. Bukan sok tahu, tapi itu ilmu. Sepanjang daya itu terpelihara bersama asa dan usaha, jangan pernah berpikir skala sempit atau luasnya anugerah. Karena ada sesuatu yang mungkin tak terduga arah datangnya. Meski sangat jelas ke mana akan pergi.

Saudaraku di segenap penjuru... Perjalanan hidup itu unik. Setiap orang punya jalannya sendiri. Panjang atau pendek itu hitungan akal semata. Yang panjang bisa jadi pendek jika kita mau. Karena mampu bukan saja soal daya tapi ada rasa dan usaha yang terpelihara.

Bangunlah selalu asa itu. Lebih baik berhikmah dan berbenah diri. Saat ini giliran Lombok, Sulteng dan sekitarnya. Besok atau lusa giliran yang lainnya. Negeri ini dilintasi banyak potensi bencana alam. Para ahli menyebutnya kondisi geologi atau apapun istilahnya. Ini anugerah terindah jika senantiasa berhikmah untuk selalu berbenah dalam kerendahan hati sebagai mahluk. 

Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun