Mohon tunggu...
Totok Irawan
Totok Irawan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Kursus Kecerdasan Pribadi Pertama di Indonesia sejak tahun 2005 - Kami memiliki 3 cabang di Jakarta (Pluit, Kelapa Gading, Meruya); Blogspot: http://myyemayo.blogspot.co.id/ RABU dan MINGGU kami tutup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ternyata Mereka Benar

23 Maret 2018   08:36 Diperbarui: 23 Maret 2018   08:52 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usia pernikahanku telah memasuki bulan yang ke-9, usia  singkat namun merupakan waktu yang terasa begitu lama bagiku. Sudah sejak enam bulan yang lalu aku dan suamiku selalu saja bertengkar. Mempertengkarkan hal-hal kecil yang hampir selalu membuat kami berakhir tidur terpisah, seringnya suamiku tidur di ruang tengah atau bahkan pergi dan pulang di atas jam 12 malam. Di usia muda pernikahanku ini, hampir tidak ada hari yang tidak kulewati dengan derai air mata, entah kapan ini semuanya bisa berakhir.

Apakah aku salah jika aku selalu mengingatkan suamiku untuk bekerja dengan baik? Aku menegurnya yang sering bangun siang hingga ia terlambat masuk kerja, suamiku bukan memperbaiki tingkah lakunya, malah semakin menjadi-jadi. Semakin kutegur, semakin ia bangun siang dan tampaknya ia senang jika aku marah. Hanya untuk merasa bangga ia dapat membuatku marah dengan mengabaikan teguran-teguranku, suatu hari ia pulang dengan tenang membawa surat PHK. 

Ia meletakkan surat PHK itu di meja makan kemudian keluar rumah dan baru kembali pukul 3 pagi. Bulan-bulan pertama, aku masih bisa berhemat untuk makan. Sampai akhirnya, pelan-pelan, aku mulai harus menjual barang-barang milikku untuk membayar air, listrik dan tentu untuk makan, hal itu tidak menggugah hati suamiku untuk mencari pekerjaan, malahan ia terlihat nyaman aku yang mulai membiayai kehidupan kami dengan apa yang kumiliki.

Akhirnya kuputuskan untuk mencari pekerjaan dan aku mendapatkannya. Namun jika aku pulang bekerja di atas jam 7 malam, suamiku mulai marah-marah dan menuduhku yang tidak-tidak, kata-katanya begitu kasar. Kadang aku menyahutinya, kadang aku mendiamkannya saja. Aku lelah menjalani pernikahanku, akan sampai kapankah hal ini berlangsung? Kuingat kembali usaha papa, mama dan adik-adikku dahulu menghentikan aku berpacaran dengan suamiku pada saat itu. 

Tak seorang pun dari mereka yang menyukainya. Namun aku bersikeras mempertahankan hubunganku. Dan kini... Setiap terjadi pertengkaran atau kesulitan keuangan, aku malu sekali untuk pergi berbicara dengan anggota keluargaku dan membuktikan bahwa mereka benar yaitu aku memang menikahi seorang pria pemalas tanpa masa depan yang jelas. 

Tak seorang pun dari anggota keluargaku yang mengetahui bahwa suamiku kini seorang pengangguran dan akulah yang bekerja menopang kehidupan kami. Hanya seorang sahabatku yang mengetahui keadaan rumah tanggaku, dan sejak ia mengetahuinya, ia selalu menyarankan aku untuk bercerai guna menyelamatkan kehidupan masa depanku yang masih panjang. Kupikir, banyak orang akan menyarankan aku bercerai dari suamiku jika mereka mengetahui permasalahanku, itu jalan yang masuk akal... Tapi keputusanku adalah, aku akan menggedor pintu Surga dengan doa-doaku siang dan malam untuk menyelamatkan pernikahanku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun