Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Empunya Juni, Filosofi Temulawak dan Gaya Kepemimpinan

6 Juni 2023   07:25 Diperbarui: 6 Juni 2023   07:38 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada nuansa istimewa bagi Bangsa Indonesia pada bulan Juni. Sebagai bulan Pancasila karena lahirnya dasar negara. Keistimewaan lain adalah kebetulan empat diantara sosok Presiden RI terlahir pada bulan Juni. Yakni Soekarno, Soeharto, BJ.Habibie, dan Joko Widodo. 

Presiden pertama Soekarno lahir di Surabaya, pada 6 Juni 1901. Presiden kedua, Soeharto lahir 8 Juni 1921 di Bantul, Yogyakarta. Lalu, presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, lahir 25 Juni 1936 di Parepare. Dan Presiden RI ketujuh Joko Widodo lahir 21 Juni 2017 di Surakarta.

Juni adalah bulan yang baik untuk mengkalibrasi apakah "watak wantune" kepemimpinan di negeri ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Gaya kepemimpinan di negeri ini sepanjang masa dalam kondisi dilematis. 

Ketika sejarah menghadirkan gaya kepemimpinan yang lemah lembut justru menimbulkan banyak masalah. Sebaliknya gaya kepemimpinan yang suka adu kuat cenderung mengganggu proses demokratisasi, anti kritik dan suka mengurangi kebebasan berekspresi. 

Dalam kondisi kehidupan bangsa yang dilanda disrupsi di segala bidang kehidupan karakter kepemimpinan nasional yang kuat tetapi dengan kinerja aparatur negara yang masih jeblok bisa melahirkan sindrom durian-ketimun. 

Bisa diibaratkan bahwa penguasa atau pemimpin yang kuat itu seperti buah durian, sedangkan rakyat adalah buah mentimun. Buat sang mentimun memang serba salah. Menimpa durian berarti hancur, apalagi kalau tertimpa bisa hancur lebur.

Pemimpin kuat tajamnya berkeliling sempurna seperti anatomi durian. Dalam konteks yang sederhana pemimpin kuat dapat dikatakan hadir dalam sosok yang otoriter, gemar bermain pokrol bambu, serta menggenggam penuh alat negara. 

Berlawanan dengan itu karakter pemimpin yang lemah hadir dalam sosok yang serba peragu, suka tebar pesona, sibuk pencitraan diri, lambat dalam mengambil keputusan dan kurang mampu mengoptimalkan kinerja aparatur negara. 

Potret buram kepemimpinan di Indonesia dalam berbagai tingkatan cocok dengan salah satu premis Warren Bennis yang berbunyi; kebanyakan organisasi terlalu banyak dikelola dan terlalu sedikit dipimpin.

Pada era disrupsi sekarang ini negara tidak perlu dikelola oleh pemimpin yang kuat. Yang lebih dibutuhkan pada era sekarang ini adalah pemimpin yang bertipe CEO Indonesia Incorporated. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun