Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SARA, Menguatkan atau Melemahkan?

3 Juni 2020   11:20 Diperbarui: 3 Juni 2020   12:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: krjogja

Kerusuhan etnik di manapun selalu mengundang perhatian dan keprihatinan banyak pihak. Apalagi yang berskala besar seperti kasus Geoge Floyd di negeri Paman Sam yang menimbulkan gerakan massa bertajuk " I cant breathe " . Saya tak bisa bernafas! Gerakan yang semula bersifat lokal dan ungkapan simpati atas perlakuan berlebih dari seorang anggota polisi Minneapolis. Kemudian berkembang menjadi beragam aksi dan motivasi. Kerusuhan dan aksi vandalisme tak terhindarkan. 

Simpati berubah jadi antipati ketika banyak orang dengan berbagai kepentingan berbaur. Ditambah beban psikologis akibat merebaknya pandemi Covid 19 yang menutup banyak akses kehidupan. Sampai satu ujung yang senantiasa memanfaatkan situasi keruh: politik sektarian. Wujudnya bisa apapun. Seperti kecaman Presiden Donald Trump kepada sejumlah gubernur negara bagian yang disebut-sebut bersikap lunak dan lemah dalam menangani unjuk rasa. Gaya cowboy pemimpin negeri berjuluk adidaya itu menyeruak, menampakkan rona gelisah. Mungkin saja karena si kecil virus Corona yang masih betah bercokol di tahta tertinggi di antara negara-negara lain se jagad raya ini mengganggu konsentrasinya.

***

SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) adalah manusiawi. Sebagai ciri atau sifat dasar manusia yang makhluk sosial. Begitu pula dengan perbedaan sebagai keniscayaan. Persoalan akan muncul ketika hal-hal biasa itu berubah menjadi luar biasa karena egosentrisme muncul dan terus membesar. Kuasa dan harta acapkali jadi pemicunya. Sehingga sendi-sendi dasar kehidupan sosial menjadi sangat rentan mengundang keretakan. Dan akan merapuh ketika sistem sosial tak berfungsi dengan semestinya.

Sebagaimana diketahui, perbedaan juga merupakan keniscayaan. Ada lelaki dan perempuan, kaya atau miskin dan berbagai ragam perbedaan manusiawi lainnya. Namun tidak semua perbedaan itu disikapi secara proporsional. Banyak faktor yang memicu perbedaan jadi perselisihan yang berujung pertengkaran dan pertikaian karena masing-masing bersikukuh dengan kebenaran yang dipegangnya. 

Perbedaan yang dikelola dengan kesadaran atas keniscayaan akan menjadi kekuatan dahsyat. Ibarat bangunan rumah, ada bagian-bagian yang saling menguatkan. Demikian pula dalam bangunan sosial: bangsa dan negara. Bangsa Indonesia merdeka hadir dari keniscayaan tadi. Beragam suku, agama, warna kulit dan aliran pemikiran melebur dalam proses dialektika yang panjang, berliku dan penuh tantangan. 

Para pemuda Jawa, Sumatera, Maluku, Sulawesi dan lainnya memang membawa identitas masing-masing. Melalui suatu proses dialektika yang bernama Kongres Pemuda kedua 1928 muncul kesepakatan yang dibangun dari kesadaran bersama bernama Sumpah Pemuda. Satu bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia. Keniscayaan menjadikan perbedaan jadi satu kesatuan, Bhineka Tunggal Ika. 

Perbedaan itu juga yang membuat Bangsa Indonesia mampu menyatakan dirinya sebagai bangsa merdeka dan berdaulat. Soekarno yang orang Jawa dan Moch Hatta dari Minangkabau mampu mewujudkan Sumpah itu dalam naskah Proklamasi. Tentu lewat proses dialektika yang sangat diyakini tidak mudah. Tapi keinginan yang kuat untuk menghadirkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur lebih kuat dari pada memasalahkan perbedaan. Sikap kebangsaan dan kenegarawanan mengalahkan ego kesukuan dan aliran pemikiran. Begitu juga yang dilakukan oleh banyak tokoh pergerakan. 

Hal yang sangat berbeda justru terjadi di masa aman sekarang. Para pemimpin acapkali memamerkan sikap yang bertolak belakang dengan semangat Sumpah Pemuda dan mengedepankan perilaku sektarian. Mereka menganggap segala hal adalah transaksional. Politisi berperilaku sebagai pedagang yang tolak ukurnya untung rugi finansial buat dirinya. Pejabat merasa jadi penguasa yang bisa berbuat sesuka udel bak raja. 

Pedagang lupa bahwa mereka hidup dari kebaikan hati orang-orang yang membeli barang atau jasanya. Pemuka masyarakat tak jauh berbeda dari para politisi, pejabat maupun pedagang. Itu terjadi dalam suasana aman. Bagaimana ketika menghadapi situasi darurat seperti masa pandemi Covid 19 saat ini?

Perhatikan dengan saksama ekspresi dan reaksi orang-orang di atas. Begitu mudahnya seorang petinggi berkelit ketika bawahan yang lebih tua umurnya membeberkan fakta ketidakmampuan bekerja sang petinggi yang jelas berisiko destruktif, bahkan kehilangan nyawa. Hal serupa terjadi di Sulut soal penyaluran bantuan sosial dan Jatim tentang mobil uji cepat kandungan virus Corona bagi warga masyarakat Surabaya. Dan banyak lagi contoh lainnya betapa mudahnya orang berkelit dari tanggung jawabnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun