Tidak sedikit pelatih yang mengeluarkan dana dari kocek pribadi yang jumlahnya berlipat kali nilai dana hibah yang diterima oleh cabang olahraganya. Lalu bagaimana dengan cabang-cabang yang tidak "kebagian" dana pembinaan dari KONI sementara kalender pertandingan begitu ketat dan sulit dipilah seperti Bridge?Â
Sementara itu, jumlah dan kesempatan untuk memakai sarana yang disediakan oleh pemerintah daerah sangat minimal. Ironis dengan kasus korupsi para petinggi daerah yang membuat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) harus melakukan Operasi Tangkap Tangan.
Haruskah kondisi ini dipertahankan dengan mengasihani diri tidak memiliki sumber dana cukup untuk para pejuang kehormatan daerah di arena bergengsi dan membawa nama harum semisal PORWil Dulongmas maupun POR Prov? Begitu miskinkah kondisi riil masyarakat dan pemerintah daerah sehingga tak mampu memfasilitasi upaya para pejuang olahraga untuk mengangkat kehormatan masyarakat dan daerahnya?
Ketika diundang untuk duduk bersama membahas masalah keolahragaan saja segera meninggalkan arena tanpa alasan jelas dan etika sebagai tamu, para pejabat daerah yang mewakili Bupati, Disporawisata, BPPKAD dan lainnya itu, di mana rasa saling menghormati berada?Â
Banggakah menyandang predikat " daerah termiskin" yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya ? Kalau jawaban sejatinya positif dan penegak hukum tidak melakukan upaya investigatif, apalagi yang dapat dibanggakan sebagai putra daerah?
Sumber: satu ,  dua  , tiga , empat , limaÂ