Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salah Asuh, Politik Pendidikan Tak Berakar

12 Februari 2019   13:28 Diperbarui: 12 Februari 2019   13:50 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar @effendygoro.bligspot.com

Kasus pelecehan siswa kepada guru yang viral mendapat beragam respon dari netijen. Sebagian menyayangkan, bahkan banyak yang mengutuk tindakan siswa itu. 

Dari tanggapan itu, saya justru tertarik dengan sepenggal puisi dari Kompasianer Darmasuta menjadi inspirasi menulis artikel ini. Penggalannya adalah:

aku tak sedang mengguruimu, 

di negeri ini tak pernah ada kejelasan rencana membangun manusia: membangun jiwa, membangun raga 

Diawali alasan meninggalkan dunia yang telah digeluti sebagai guru, ia lalu mencari "cahaya kehidupan". Menebar kebaikan di jalanan dan terus berlayar mengarungi samudera raya kehidupan yang penuh karang, ombak, badai dan sebagainya.  Ada rencana untuk membakar ijazah (dari nadanya, ilmu keguruan dan ilmu pendidikan di Semarang).  

Terlepas dari semua alasan yang melatarbelakangi "kekecewaan"-nya pada dunia yang pernah digeluti dan kemudian ditinggalkan, menjadi guru di masa lalu berbeda dari sekarang. 

Pertama dari sisi kesejahteraan, profesi guru saat ini jauh lebih berharga. Era pasca sertifikasi, daya ekonomi  keluarga guru meningkat tajam. Minimal nampak pada penampilan fisikalnya jauh lebih perlente. Tidak seperti gambaran Oemar Bakri, apalagi guru yang pejuang kemerdekaan.  

Soal wujud dan tingkat kesejahteraan memang bergantung pada lembaga pendidikan, status formal dan posisi atau jabatannya. 

Jika PNS, banyak kemudahan dan "penghormatan" yang acapkali menimbulkan rasa iri hati dari profesi lain. Tapi, bagaimana kalau ia ada di lingkungan lain yang tidak mendatangkan harapan besar adanya kemudahan dan penghormatan itu? 

Kedua, adanya penghormatan yang ditandai dengan secarik kertas bernama sertifikat dan selanjutnya mendatangkan kemudahan dari wujudnya : sertifikasi, tidak serta merta diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kapasitas diri penerimanya. Standar formal masih lebih berharga meski cara untuk menghadirkan situasi formal itu boleh jadi dengan jalan pintas atau culas. 

Ketiga, berkaitan erat dengan "kekecewaan" tadi, yakni soal ketidakjelasan rencana membangun manusia di negeri ini. Artinya, berkutat pada politik pendidikan yang ditindaklanjuti dalam strategi pembangunan sumber daya manusia secara nasional. 

Kebijakan politik yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia ini tidak pernah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dengan rencana jelas, terarah dan ajeg. 

Pasang bongkar kurikulum tanpa jelas arah, tujuan dan sasaran jangka panjangnya. Setiap ganti menteri pendidikan, ganti kebijakan yang tak jelas pula arahnya selain menambah kebingungan banyak orang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun