Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Kita Mudah Menghakimi?

5 Desember 2018   20:48 Diperbarui: 5 Desember 2018   20:54 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: Mojok @tirto.id

Munculnya media sosial di awal milenium ketiga memberi warna dan nuansa berbeda dalam kehidupan manusia. Selain Friendster yang sudah tamat riwayatnya, ada beberapa platform semi blogging semacam Netlog  yang menyusul pada April 2015 dan sebagainya. 

Tentu yang popular semisal Facebook, Twitter, Instagram dan WhatsApp lebih familier untuk jaman sekarang. Tulisan ini tak dimaksudkan untuk membahas soal itu. Barangkali lebih mengarah pada dampak media sosial dalam kehidupan manusia saat ini. Terutama di lingkungan sekitar, keluarga dan masyarakat kita. 

Istilah phubbing atau kecanduan gawai sampai mengabaikan lawan bicara atau lingkungan sekitar sebenarnya bukan hal baru dan mengejutkan. Keasyikan memakai gawai, khususnya telepon pintar (smartphone) telah banyak diulas penyebab dan akibatnya. Baik bagi kesehatan jasmani, mental maupun budaya.  Masing-masing ada plus minusnya. 

Dan yang sering saya singgung dalam berbagai tulisan, dampak teknologi terhadap kebudayaan adalah terjadinya kesenjangan budaya (cultural lag) yang satu di antaranya gagap berteknologi atau lebih popular disebut gaptek. 

Gaptek juga tidak sekadar aplikatif, cakap menggunakan produk teknologi. Tetapi menundukkannya sehingga kita hanya mengambil yang positif atau nilai manfaatnya harus lebih besar dari kesia-siaan. 

Sesuai namanya, media sosial secara lugas dapat dipahami sebagai ajang berinteraksi sosial secara daring . Dalam berinteraksi, disadari atau tidak, acapkali kita terbawa suasana yang hadir saat itu. Ada yang langsung bereaksi, hati-hati atau acuh . 

Yang beraksi juga bermacam-macam. Terbawa alur suasana yang acapkali dibangun untuk tujuan tertentu. Dari sekadar menulis atau mengaudio-visualkan curhat atau angan-angan. Sampai yang sangat serius, mengobarkan gerakan massa dan sejenisnya. Ada juga yang menyebarkan kabar bohong (hoax) seolah nyata karena direkayasa dengan bantuan teknologi tertentu. 

Diantara beragam dampak negatif dari keberadaan media sosial adalah munculnya kecenderungan menuduh dan menghakimi orang lain. Terutama terhadap individu atau kelompok yang tak disukai. Seperti kita ketahui, yang berhak menuduh dalam tatanan hukum yang berlaku di Indonesia adalah jaksa. Dan yang menghakimi adalah institusi pengadilan. Terlepas dari kualitas kedua institusi penegakan hukum itu, masyarakat beradab akan mengakuinya sebagai pihak yang kompeten. 

Teknologi informasi sesuai fungsinya memudahkan dan mempercepat urusan (pekerjaan khususnya) , karena ketidaksiapan mental kita, justru berakibat sebaliknya. Banyak contoh yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran hidup dari kasus besar yang menimpa pesohor seperti dialami Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani misalnya. Ada pepatah usang " keledai tak mau terperosok di lubang sama", apalagi manusia (yang lebih berakal). 

Sayangnya,  ada saja di antara manusia yang melakukan kecerobohan yang sama berulang kali hanya karena ingin disebut  "update". Celakanya, yang narsis justru kian banyak dan tak sadar diri yang sebenarnya sedang menjadi cibiran atau cemooh. Atas hal seperti ini , ada cara yang baik untuk mengingatkan. Mengirim pesan pribadi, meskipun ditanggapi negatif oleh yang bersangkutan, lebih beradab dari pada memasang komentar di bawah foto atau posting status di lini masanya. 

Banyak jalan menuju Roma, banyak cara pula mengingatkan orang lain tanpa melayangkan tuduhan. Apalagi menghakimi. Keterbukaan informasi mestinya membuat kita lebih mudah memahami makna hidup dan kehidupan. Sekadar mengingatkan diri bahwa informasi itu sifatnya bias terhadap lingkungan. Di sini dianggap baik, di sana mungkin buruk atau menyesatkan. Filter terbaik adalah akal sehat dan pengalaman jika ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun