Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi 9 Tahun di Kompasiana

22 Oktober 2018   05:43 Diperbarui: 23 Oktober 2018   20:41 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto networthpost.com

Hari ini, di tanggal yang sama : 21 Oktober, 9 tahun lalu. Untuk pertama kalinya saya menulis di Kompasiana dengan judul "Antara Yang Banyak dan Baik". Inspirasinya dari pesan yang ada dalam buku harian almarhum ibu kandung.

Saat itu, ibu pertama kalinya jadi guru di SD Latihan SGP Yogyakarta yang berada di sekitar alun-alun kota Rembang, Jawa Tengah pasca ikut dalam kancah Perang Kemerdekaan. Sebenarnya, kutipan lengkap pesan itu adalah: Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik itu pasti banyak. Saat tulisan dibuat, ibu masih hidup. 

Gagasan yang muncul kala itu cukup sederhana. Realita kehidupan kita kian banyak kehilangan yang baik-baik. Bahasa yang baik adalah bahasa ibu, Indonesia. Karena bahasa itu menunjukkan bangsa. Selaku bangsa Indonesia, gunakan Bahasa Indonesia. Tapi banyak orang enggan melakukan kebaikan itu.  Banyak yang lebih suka berbahasa asing, Inggris utamanya. Dan kebaikan tidak selamanya menjadi kebanyakan atau sebaliknya. 

Minggu, 21 Oktober 2018. Tepat 9 tahun saya mengalami kebersamaan dengan para Kompasianer. Tentu dengan berjalannya waktu, semakin bertambah jumlah, gaya penulisan dan sebagainya. Secara kebetulan tulisan ini adalah kali ke 100 saya membuat tulisan di laman blog keroyokan, Kompasiana. Angka 100 bagi sebagian orang bermakna. Biasanya juga istimewa. 

Angka 100 bagi pelajar dan mahasiswa adalah nilai tertinggi atau puncak pencapaian belajar yang selalu diincar. Begitu juga buat pemimpin baru, khususnya di lingkungan pemerintah. Hari ke 100 dinilai sangat berharga untuk melakukan evaluasi. Apakah kinerjanya dapat memberi harapan lebih baik atau tidak. Buat saya yang orang biasa saja, angka 100 bisa berarti.  Atau  sebagai urutan angka biasa setelah 99. 

Sebagai Kompasianer, mengikuti 9 dari 10 tahun perjalanan Kompasiana tentu merupakan hal yang istimewa. Saya beruntung masih mengenal pendiri Kompasiana, Kang Pepih Nugraha , Wijaya  Kusumah atau Om Jay  dan sebagainya.

Meski sempat jeda sekitar 4 tahun karena alasan pribadi, di akhir Agustus 2018 saya coba kembali ikut meramaikan blog keroyokan ini dengan akun lain  karena kesulitan mengakses akun ini. Jika dulu saya mengakses Kompasiana dengan perangkat komputer, sekarang memakai ponsel pintar. Sensasinya jelas berbeda. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan.

Pada platform awal, ada kategori Catatan yang hilang dalam format beyond blogging sekarang. Perubahan ini membuat sebagian "Catatan" saya harus disesuaikan dengan tingkat kesulitan berbeda-beda. Kebanyakan mudah untuk yang berisi  sedikit unggah foto. Sementara itu, tulisan yang berisi banyak foto memerlukan usaha dan kesabaran lebih. 

Di antara berbagai kategori yang ada, sebagian besar tema yang dipilih adalah tentang humaniora, budaya dan politik . Beberapa artikel berupa otobiografi atau pengalaman pribadi. Sedikit artikel bernuansa ekonomi dan terakhir adalah olahraga.

Pada kategori humaniora, saya sering mengulas tema kemanusiaan dengan atau meniadakan keterkaitan dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Institusi diberi tugas khusus membantu pemerintah di lapangan kemanusiaan.

Ditinjau dari jumlah kunjungan pembaca, artikel Sinom dari Daun Asam Muda  dilihat hampir 5.000 kali dengan 1 peringkat dan 0 komentar. Bandingkan dengan artikel berjudul Si Centil @TrioMacan Yan Suka Menohok yang dilihat kurang dari 3.000 kali, tapi ada 7 peringkat dan 21 komentar yang belum semuanya saya lihat, apalagi dibalas. Gambaran tadi menyiratkan bahwa, mungkin, saya bukan type Kompasianer yang pandai mengemas. Kesan lugu dan kampungan boleh jadi lebih mendekati gambaran riilnya. 😀😀

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun