Mohon tunggu...
Toto Sukisno
Toto Sukisno Mohon Tunggu... Auditor - Berlatih Berbagi Sambil Tertatih, Menulis Agar Membaca, Membaca Untuk Memahami

http://bit.ly/3sM4fRx

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengokohkan Pertahanan Terakhir Penghentian Laju Penyebaran Covid-19

21 April 2020   19:55 Diperbarui: 22 April 2020   05:01 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua hari yang lalu, tepatnya Delapan Belas Maret Dua Ribu Dua Puluh sebuah panggilan telepon cerdas lewat aplikasi whatsapp berdering dari seorang kawan yang nada bicaranya agak gemetar dan tidak teratur. “Coba tenangkan dulu pikiranmu, baca istighfar baru ngomong”, begitulah jawaban saya saat itu. Inti pembicaraan via telepon cerdas yang saya terima adalah bahwa dia ingin mengabarkan dan meminta saran terkait dengan orang tuanya yang telah berinteraksi dengan seorang temannya yang kini menjadi pasien positif Covid-19. Dalam pembicaraan singkat tadi saya sempat menanyakan bagaimana kronologi orang tuanya kok sampai melakukan interaksi dengan teman yang sudah menjadi pasien positif Covid-19. “Awalanya bapak diajak beribadah Sholat Jumat oleh temannya dengan alibi sudah dua kali mereka tidak melaksanakan sholat Jumat, dan Bapak pun mengamini dan mengikutinya tanpa rasa khawatir”, jelasnya singkat. Jelajah tempat ibadah yang menyelenggarakan sholat Jumat pun dilakukan oleh ayah dari kawan saya beserta rombongan (kurang lebih 8 orang) hingga kota tetangga kabupaten. Setiap waktu sholat fardhu tiba, mereka berinteraksi dan berjamaah dan nampak abai dengan protokol kesehatan yang semestinya dipatuhi oleh semua masyarakat.

Sebenarnya masjid di komplek perumahan sudah ditutup sebagaimana himbauan dari pemerintah untuk melaksanakan beribadah di rumah, tetapi mereka tetap bersikeras untuk melaksanakan sholat secara berjamaah hingga teras masjid pun menjadi alternatif terakhir untuk memenuhi keinginan dan keyakinan mereka. Ketua ta’mir masjid pun menyerah dengan sekelompok jamaah yang usianya seudah terbilang sangat senior ini, karena salah satu yang menjadi pertimbangan ada salah satu jamaah dari kelompok itu yang dianggap sebagai orang terpandang, baik dari sisi ekonomi, agama dan status sosial.

 “Awake dewek kiye wis tua, urip nggo ngapa yen ora nggo ngibadah, ya apa ora”, itulah penggalan kalimat yang disampaikan ke teman-temannya dalam dialektika jawa ngapak setiap mereka mau menunaikan ibadah sholat lima waktu. 

Terjemahan dalam bahasa Indonesianya kurang lebih begini, “kita ini sudah tua, hidup itu untuk apa kalau tidak untuk beribadah, ya kan? Setiap kalimat itu disampaikan, tak ada satu pun teman dalam kelompoknya yang membantah, semuanya ikut mengamini apa yang beliau sampaikan. Beberapa hari mereka lalui secara bersama-sama setiap waktu sholat tiba. Sampai pada suatu hari, ada kabar yang beredar di masyarakat bahwa salah satu jamaah yang biasa sholat jamaah diteras masjid dijemput oleh petugas kepolisian dan petugas kesehatan.

Informasi penjemputan ini baru didengar orang tua kawan saya tadi setelah kurang lebih dua hari berdasarkan desas-desus dari masyarakat sekitar, artinya tidak ada informasi yang diterima secara langsung dari sumber terpercaya. Namun demikian, ketidakhadiran salah satu teman kelompok dalam shalat jamaah di teras masjid tadi seakan membenarkan akan kejadian penjemputan tadi. Akhirnya, penjelasan resmi pun disampaikan oleh pihak ketua takmir masjid yang menyampaikan bahwa Bapak X dinyatakan positif Covid-19 setelah dilakukan serangkaian test oleh pihak yang berwenang. Lebih lanjut ketua takmir menyampaikan, bahwa Bapak X merupakan salah satu jamaah yang baru pulang dari Gowa mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh salah satu kelompok keagamaan. Sehabis pulang dari Gowa, beliau mengalami gejala yang menjadi indikasi terinfeksi Covid-19, namun beliau tidak melaporkan ke perangkat desa. Oleh karena itu beliau masih berinterakasi dengan teman-teman di kompleksnya, dan beliau sendiri juga tidak menyampaikan ke teman-teman kelompok kecilnya tadi.

Belajar dari pengalaman diatas, pencegahan penyebaran Covid-19 selain dengan mencuci tangan pakai sabun, menggunakan masker, berkegiatan di rumah, physical distancing, maka pertahanan terakhir untuk menghentikan laju penyebaran virus adalah self awareness (kesadaran diri) dan kejujuran. Nampaknya penyebaran Covid-19 mustakhil dapat diputus bila dua unsur ini tidak ditegakkan, terkecuali pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menerapkan lockdown secara total.

 Berdasarkan beberapa sumber(1), self awareness merupakan perhatian yang berlangsung ketika seorang mencoba memahami keadaan internal dirinya melalui proses mengenali motivasi, pilihan dan kepribadian guna menyadari pengaruh faktor-faktor atas penilaian, keputusan dan interaksi kita dengan orang lain. Secara sederhana self awareness merupakan kesadaran diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Adapun kejujuran menurut sumber yang saya baca(2), didefinisikan sebagai suatu sikap seseorang yang biasanya diungkapkan dengan ucapan ataupun perbuatan dengan spontan sesuai keadaan yang sebenarnya tanpa ada rekayasa dari yang diucapkan maupun yang dilakukan. Dalam kondisi apapun sebenarnya dua sikap di atas sangat dibutuhkan terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19. So, mari kita tegakkan dua sikap tadi agar penyebaran Covid-19 segera dapat dihentikan. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallohu ‘alam.

Sumber referensi: (1) , (2

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun