Mohon tunggu...
Toto Sukisno
Toto Sukisno Mohon Tunggu... Auditor - Berlatih Berbagi Sambil Tertatih, Menulis Agar Membaca, Membaca Untuk Memahami

http://bit.ly/3sM4fRx

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Bakti Anak" yang Berekses pada Derita Ibu

8 April 2020   10:35 Diperbarui: 8 April 2020   11:16 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini dilatarbelakangi dari kisah seorang teman pria yang hingga saat ini sedang berikhtiar dan berpacu dengan waktu untuk memperoleh ridho dari seorang ibu. 

Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan manfaat kepada semua yang membacanya sehingga tidak mengalami sebagaimana yang terjadi pada teman saya. Narasi dalam tulisan ini juga sengaja tidak dieksplor secara mendalam agar naskah ini tidak panjang tetapi tetap dapat menggambarkan semua peristiwa.

Dua puluh tahun yang silam, teman saya masih berstatus sebagai seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta favorit di Jawa Tengah. Saat menjadi mahasiswa, kawan ini tidak terlalu aktif dalam kegiatan kampus sehingga waktu luang pun lebih banyak dia miliki. 

Meskipun banyak memiliki waktu luang, tetapi masa studi yang ia gunakan untuk menyelesaikan jenjang strata satu nya tergolong sangat lama, yakni lebih dari satu dekade bahkan nyaris tidak selesai akibat semangat yang dimiliki hampir pupus. Kedua orang tuanya pun berulangkali menanyakan status kemahasiswaannya dan apa-apa yang bisa dibantu agar sang anak segera dapat menyelesaikan studinya. 

Ditengah-tengah kondisi yang dialaminya, maka teman ini mencoba mengusulkan satu solusi yang dianggap paling optimal dan rasional kepada kedua orang tuanya agar studinya cepat terselesaikan. Kala solusi ini disampaikan, dahi kedua orang tuanya mengernyit seakan tidak percaya. 

Solusi yang disampaikan teman saya saat itu adalah memiliki teman wanita yang halal untuk menemani sehingga proses pengerjaan tugas akhirnya ada yang membantu. Satu pertanyaan yang dijadikan sebagai pengantar saat menyampaikan solusi tersebut yaitu: apakah bapak dan ibu ingin anaknya berbuat maksiat atau bahkan sampai zina? Hening, begitulah suasana yang bisa menggambarkan proses dialog antara orang tua dan anak saat itu.

Sebenarnya, proses diskusi terkait dengan permintaan menghalakan teman wanita sudah berulangkali disampaikan, tapi menyampaikan dengan pengantar pertanyaan retoris baru sekali itu disampaikan. Tidak ada satupun orang tua yang ridho jika anaknya berbuat maksiat, apalagi berbuat zina. 

Pada dasarnya, menjauhi perbuatan maksiat maupun zina bagi seorang anak merupakan sebuah kewajiban individu terhadap Sang Pencipta bukan karena orang tua. Mengapa? Karena pada usia tersebut, seorang anak sudah dianggap dewasa sehingga sudah dikenakan hukum. 

Tapi sebagai orangtua yang memahami agama, masih ingat betul dalam pemahamannya bahwa ada tiga kewajiban orang tua terhadap anaknya, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah, yaitu: "hak anak atas orang tuanya ada tiga: diberikan nama yang baik ketika lahir, diajarkan Al Quran ketika sudah berakal dan menikahkannya ketika sudah menemukan". Artinya, kalau sang anak memang sudah menghendaki untuk menikah tentu sebagai orang tua tidak bisa mencegah bahkan melarang, kalaupun menurut orang tuanya belum setuju maka yang dapat dilakukan adalah memberi nasihat secara bijak.

Permintaan yang telah disampaikan kawan saya saat itu membuat gamang kedua orang tuanya. Sebagai orang tua seperti kebanyakan orang, tentu menginginkan anaknya saat menikah sudah memiliki kegiaatan yang menghasilkan materi sebagai bekal dalam mengarungi rumah tangga, apalagi seorang anak laki-laki yang memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab penuh pada istri dan keluarganya kelak, disisi lain pertanyaan dari sang anak selalu terngiang-ngiang terus bak anak panah yang siap meluncur ke sasarannya. 

Diskusi panjang pun dilakukan kedua orang tua teman saya tadi, baik dengan anak-anak yang lain maupun keluarga besarnya. Singkat cerita, permintaan kawan saya tadi akhirnya disetujui meski dengan berat hati apalagi ibunya.  

Plong, begitulah perasaan kawan saya karena tandatangan dalam halaman pengesahan (ibarat laporan tugas akhir) telah ia dapatkan, langkah selanjutnya adalah mencari wanita yang bersedia untuk dijadikan teman pendamping dalam hidupnya. Proses pencarian pun segera dilakukan untuk mendapatkan wanita yang cocok sesuai dengan kriterianya. Kurang lebih tiga bulan waktu yang dia butuhkan sampai akhirnya menemukan seorang wanita yang sesuai dengan kriteria dan mau menjadi pendamping hidupnya. 

Pernikahan sederhana pun akhirnya dilakukan yang dihadiri oleh keluarga dekatnya saja. Selesai proses pernikahan, maka kawan saya tadi akhirnya memboyong istrinya ke tempat kostnya (kebetulan tempat kost gratis karena menempati rumah suadara orang tuanya). 

Akhirnya, dengan segala lika-likunya kawan saya berhasil menepati janji untuk menyelesaikan studi program sarjana dengan masa studi kurang lebih satu dekade. Orang tua pun merasa bahagia karena akhirnya sang anak berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan sarjananya.

Selepas selesai kuliah, kawan saya sekarang mulai fokus memikirkan bagaimana caranya agar kebutuhan keluarga bisa terpenuhi. Ada satu hal yang menjadi prinsip dalam menjalani hidupnya, yaitu dia tidak mau menjadi pegawai. Oleh karena itu, dia tidak punya niat sama sekali untuk memanfaatkan selembar kertas (ijazah) yang dimiliknya guna mencari pekerjaan. Profesi berjualan pun mulai ditekuni meski tidak istiqomah, dari berjualan minuman sampai berjualan makanan kecil. 

Ditengah kesibukan akan perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, kedua orang tuanya kini sudah mulai menua khususnya sang ibu mulai sering sakit-sakitan. Sang ibu didiagnosa menderita penyakit skizofrenia (gangguan kejiwaan). Menurut anak-anak yang lain, sang ibu terlalu memikirkan kondisi anak lelakinya (teman saya) yang telah memiliki keluarga tetapi belum mampu untuk mandiri secara ekonomi. 

Kondisi ini diakibatkan sang anak tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga penghasilan untuk mencukupi keluarga pun tidak menentu. Apakah ini yang disebut "bakti anak memiliki ekses derita ibu". Wallohu 'alam. Kisah ini rencana akan saya eksplor lebih mendalam dalam judul yang lain.. Semoga bermanfaat...

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun