Mohon tunggu...
Toto Sukisno
Toto Sukisno Mohon Tunggu... Auditor - Berlatih Berbagi Sambil Tertatih, Menulis Agar Membaca, Membaca Untuk Memahami

http://bit.ly/3sM4fRx

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Nalar Politik Tidak Sehat, ke Mana Harus Berobat?

12 Desember 2019   06:08 Diperbarui: 12 Desember 2019   06:20 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir bulan Nopember tahun dua ribu sembilan belas, saya menyempatkan diri untuk bersilaturakhim dengan saudara kandung di kawasan pantura. Kebetulan pada akhir bulan tersebut, daerah dimana saya lahir dan tumbuh besar telah melaksanakan pesta demokrasi guna memilih pemimpin di desa tersebut. Pesta demokrasi di tingkat desa dilaksanakan secara serentak dengan kurang lebih dua puluh desa lainnya.

Ada hal yang menarik bagi saya, yakni masyarakat begitu antusias memberikan dukungannya kepada semua calon kepala desa. Banyaknya baliho dan poster yang terpasang disetiap sudut ruang bebas yang mudah dilihat oleh semua orang semakin menunjukkan bahwa sedang ada hajatan pesta demokrasi.

Bila temaram lampu sudah mulai terlihat, sekelompok orang berjaga ditempat-tempat yang telah disediakan untuk sekedar menyeruput kopi panas dan menyantap cemilan yang telah disediakan oleh "panitia". Pendek kata, terlihat begitu meriah dan hangat dalam menyambut proses pesta demokrasi.

Awalnya, saya menduga bahwa dukungan yang masyarakat berikan kepada semua calon kepala desa adalah akibat dimiliknya kesadaran yang tinggi dalam menentukan pemimpinnya. Perbedaan dukungan terhadap calonnya pun tidak menjadi hambatan untuk sekedar menghadiri sosialisasi program yang disampaikan oleh calon lainnya. Pendek kata, suasana senang dan bahagia yang terlihat disetiap raut wajah warga semakin menahbiskan bahwa desa ini sedang dalam suasana pesta.

Namun, kenyataan di lapangan membuat dahi saya berkernyit, beberapa sumber informasi yang sampai di telinga saya menyampaikan bahwa "masyarakat merasa senang karena calon pemimpin mereka sangat "loman" atau dermawan terhadap warganya. Konon, jika calon pemimpin mereka mengadakan semacam sosialisasi atau pemaparan rencana program bila nanti terpilih menjadi kepala desa, setiap warga yang memiliki hak pilih akan mendapat "sangu".

Bila ada warga yang ingin sekedar berkumpul untuk berbincang dan melepas penat di tempat yang telah ditentukan, calon kepala desa memanjakan dengan menyediakan minuman hangat dan makanan ringan untuk menghangatkan suasana. Begitupun dengan kelompok jam'iyah pengajian, kelompok PKK dan kelompok-kelompok lainnya yang ada di masyarakat juga ikut merasakan kedermawanan calon kepala desa melalui pemberian "perlengkapan" yang sedang dibutuhkan.

Rentetan informasi yang saya dengar ini cukup untuk menyimpulkan dalam bentuk sebuah pertanyaan, apakah kegembiraan warga dalam pesta demokrasi ini karena disulut dengan bahan bakar "uang"? Bagi warga yang hidup di desa dengan profesi sebagai buruh dengan penghasilan rata-rata enam puluh ribu per hari, sangatlah beralasan bila memiliki pola pikir sederhana yakni calon kepala desa yang akan dipilih adalah calon yang memberikan imbalan materi paling berasa (besar).

Secara administrasi fakta ini seperti (maaf) kentut, yakni sangat bisa dicium tetapi sulit untuk dibuktikan. Fakta ini menunjukkan sekelumit gambaran bahwa masyarakat di desa saya sedang tidak sehat nalar politiknya. Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, esensi politik adalah hidup yang baik guna menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, membentuk karakter yang baik dan menempatkan kita pada keutamaan sebagai warga. Permasalahannya, bila kondisi ini sudah terjadi bagaimana cara untuk mengobatinya?

Jawabannya sederhana meski dalam implementasinya perlu diejawantahkan secara komprehensif, obatnya adalah memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat dan membekali mereka dengan pendidikan yang cukup (formal atau non formal). Sebagaimana slogan yang sering kita dengar, "pendidikan adalah investasi peradaban". Wallohu a'lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun