Mohon tunggu...
Toto Sukisno
Toto Sukisno Mohon Tunggu... Auditor - Berlatih Berbagi Sambil Tertatih, Menulis Agar Membaca, Membaca Untuk Memahami

http://bit.ly/3sM4fRx

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Problematika Mengerek Indeks "HCI" Melalui Sertifikasi Kompetensi

9 Desember 2019   06:55 Diperbarui: 9 Desember 2019   06:59 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil riset Bank Dunia tahun 2018, Human Capital Index (HCI) Indonesia menduduki peringkat ke-87 dari 157 negara dengan perolehan nilai 0,53. Nilai tertinggi HCI adalah 0,88 yang diraih oleh Singapura, dan disusul Jepang dan Korea Selatan dengan nilai 0,84. Menurut Eileen dan Emilia Jakob (2018), parameter HCI ini mengukur sejauh mana  organisasi menggunakan, menempatkan dan mengembangkan kemampuan individu untuk berkinerja dan membuat nilai tambah pada organisasi melalui kompetensi, ekspertis, dan pengetahuannya.

Artinya, negara yang memiliki nilai HCI rendah mengindikasikan masyarakatnya juga memiliki kompetensi yang rendah dibandingkan dengan negara yang HCI nya lebih tinggi. Nilai HCI Indonesia sendiri tercecer dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Singapura 0,88, Malasyia 0,62, Vietnam 0,67, Thailand 0,60 dan Filipina 0,55.

Tidaklah mengeherankan bila Presiden Joko Widodo pada periode keduanya memfokuskan untuk membangun manusia Indonesia khususnya generasi muda yang unggul dan berkualitas melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu mencetak generasi yang pintar dan mampu berkarya, pancasilais, toleran dan kokoh bergotong royong.

Salah satu indikasi seseorang dianggap berkompeten adalah dimilikinya sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi sangatlah berbeda dengan sertifikat pelatihan. Sertifikat kompetensi hanya boleh diterbitkan oleh lembaga yang telah memperoleh lisensi dan melaksanakan serangkaian persyaratan yang termonitor.

Acuan sertifikasi kompetensi adalah SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang disusun oleh segenap elemen yang berkepentingan seperti industri, organisasi profesi, pakar, perguruan tinggi dan pemerintah. Dengan demikian, seseorang yang telah memiliki sertifikat kompetensi maka kemampuan dan keahliannya akan diakui oleh stakeholders (dunia usaha/dunia industri).

Sertifikat kompetensi memiliki jangka waktu tertentu, selain adanya ketentuan terkait pemeliharaan kompetensi secara terus menerus bagi pemilik sertifikat. Sertifikat kompetensi juga akan membantu pemiliknya dalam penempatan di dunia kerja, bahkan beberapa stakeholders menggunakan dasar sistem penggajian berdasarkan sertifikat kompetensi yang dimiliki oleh pekerja.

Dalam tataran konsep, sertifikasi kompetensi diharapkan mampu menjembatani problematika ketersediaan tenaga kerja profesional yang sering dikeluhkan oleh dunia usaha/dunia industri. Terjadinya gap antara kompetensi lulusan dunia pendidikan dengan kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja merupakan salah satu stimulan munculnya gagasan tenaga kerja bersertifikat.

Selain itu, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016 juga merupakan faktor pendorong lain mengapa sertifikasi kompetensi menjadi sebuah keniscayaan. Dan yang tidak boleh dilupakan tentunya adalah muara dari keberadaan sertifikat kompetensi, yaitu menjaga marwah Negara Indonesia tercinta agar indek HCI nya menjadi terkerek naik.

Angin segar yang diharapkan dari lahirnya sertifikasi kompetensi bagi masyarakat Indonesia pencari kerja ternyata menemui beberapa persoalan. Menurut mantan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, sertifikasi profesi yang ada saat ini banyak yang tumpang tindih akibat dikerjakan oleh banyak kementerian dan lembaga.

Pemerintah tidak perlu bertugas membuat sertifikasi, cukup diserahkan ke asosiasi profesi, sehingga standar profesi disusun atas dasar kerjasama asosiasi profesi dan industri bersama-sama dengan pemerintah dan lembaga pendidikan. Lebih lanjut menurut Darmin, banyaknya lembaga yang mengeluarkan sertifikasi ini membuat semakin tidak jelasnya standar kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan, padahal dengan adanya MEA mestinya standar kompetensi yang dibuat dapat diakui oleh negara-negara ASEAN.

Oleh karena itu perlu adanya harmonisasi diantara kementerian dan lembaga terkait dengan persoalan sertifikasi kompetensi ini, sehingga masyarakat tidak mengalami kebingungan dengan banyaknya program yang serupa tapi diselenggarakan oleh lembaga atau kementerian yang berbeda. Semoga kementerian dan lembaga yang terkait saling bergandeng tangan untuk menyatukan langkah guna merumuskan kebijakan yang secara vektoral saling menguatkan sehingga sumber daya manusia Indonesia yang unggul akan segera menjadi nyata. Semoga...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun