UI--UGM: Cermin Retaknya Dunia Pendidikan Indonesia
Dalam beberapa bulan terakhir, dua nama besar dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia, Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), terseret dalam pusaran kontroversi yang mengguncang fondasi kepercayaan publik. Kasus disertasi Bahlil Lahadalia di UI, yang menurut laporan Tempo (17 Maret 2025) mengalami revisi bukan hanya dari sisi redaksional tetapi juga dari aspek prosedur dan substansi, memunculkan pertanyaan mendasar:Â bagaimana standar akademik dijaga dan dijalankan?
Belum surut polemik itu, publik kembali dikejutkan dengan gugatan terhadap UGM senilai Rp69 triliun, menyusul kisruh legalitas ijazah Presiden Jokowi yang dikaitkan dengan institusi tersebut (CNN Indonesia, 15 Mei 2025). Dua perguruan tinggi yang selama ini dijadikan simbol mutu dan prestise akademik, kini justru menjadi ilustrasi tentang sesuatu yang lebih dalam: retaknya dunia pendidikan nasional.
Simbol Retak di Puncak Piramida Pendidikan
UI dan UGM bukan sekadar universitas. Mereka adalah lambang keunggulan akademik, tempat berkumpulnya para cendekia, dan selama puluhan tahun menjadi rujukan mutu pendidikan tinggi. Namun, jika institusi semacam ini dapat goyah oleh persoalan mendasar seperti integritas akademik dan tata kelola administrasi, maka kita patut bertanya: bagaimana kondisi kampus-kampus lain yang berada di bawah bayang-bayang mereka?
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika. Realitasnya, menjamur kampus-kampus "abal-abal" dan lembaga pendidikan tinggi yang melanggar standar adalah bagian dari fenomena sistemik. Dalam laporan Advokatnews.com, daftar kampus tak berizin atau tidak terakreditasi terus bertambah. Lebih mengejutkan lagi, Detiknews (1 Oktober 2015) mencatat bahwa sebanyak 243 kampus telah dinonaktifkan oleh Kemenristekdikti.
Fenomena ini bukan muncul dari ruang hampa. Ketika kualitas dan integritas di puncak piramida pendidikan mulai dipertanyakan, maka apa yang terjadi di lapisan bawah akan lebih sulit untuk diawasi dan diperbaiki.
Retakan yang Menjalar ke Dasar
Retaknya mutu pendidikan tidak berhenti di jenjang perguruan tinggi. Di tingkat dasar dan menengah, masalah serupa menghantui. Sebuah laporan dari Detik Bali (9 April 2025) menyebutkan bahwa ratusan siswa SMP di Buleleng belum bisa membaca secara lancar. Lebih menyedihkan lagi, sistem evaluasi pendidikan yang longgar membuat kelulusan dan kenaikan kelas menjadi formalitas belaka. Kumparan (2 Oktober 2024) bahkan menyebutkan bahwa "wajib naik kelas" telah menjadi praktik umum, terlepas dari kesiapan dan kemampuan siswa secara akademik.