Ada suara-suara yang muncul tanpa wujud, tanpa tubuh, tanpa rupa. Hanya bunyi, namun mampu membuat orang menoleh, mendongak, bahkan menahan napas.Â
Di desa-desa Banyumas tempo dulu, suara itu disebut Saleh---bukan nama orang, melainkan nama untuk sebuah misteri: bunyi yang terdengar jelas, tapi tak pernah ditemukan sumbernya.
Kothekan Tanpa Penabuh
Sekitar tahun 1960-an, suara kothekan---ritme khas tabuhan dari lesung kayu yang ditabuh menggunakan alu oleh para perempuan desa ---sering terdengar di tengah hari maupun larut malam.
"Othek, othek, udhung, udhung, othek, othek, udhung, udhung..."Â
Bunyi itu muncul begitu saja, mengalun dari kejauhan, seolah berasal dari dukuh Karangmangu, yang dekat. Namun begitu saat didengarkan lebih seksama, suara itu menjauh ke dukuh Kedhempel, bahkan sepertinya sampai dukuh Pesawahan.Â
Konon Makam Jitarota Wirasana; Barat Dukuh Merden, Penaruban; Pundhen Racabungur, Karangturi dan Pundhen Alang-alang Bundhel, Patemon, setiap kali juga terdengar jelas suara orang-orang kothekan, namun satu hal yang pasti: tak ada satu pun orang yang terlihat menabuhnya.
Orang-orang desa percaya bahwa suara itu adalah manggungnya para makhluk tak kasat mata, penunggu alam yang sedang menampilkan pertunjukkan untuk mereka sendiri---dan kebetulan, banyak manusia yang bisa mendengarnya.
Pohon Aren: Rumah Para Saleh
Kepercayaan lokal menyebut bahwa pohon besar dan khususnya pohon aren, terutama yang tumbuh di pinggir sungai, adalah tempat favorit para Saleh. Mereka bermukim di antara pelepah dan buah kolang-kaling, menabuh kothekannya ketika suasana sepi atau terlalu panas.