Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jalan Menuju Kematian: Pecandu Narkoba, Teroris, dan Sufisme

6 Oktober 2011   06:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika memasuki kawasan perumahan tentara dalam perjalanan menuju rumah, saya melihat geromblan anak – anak tanggung berkumpul di depan portal. Setelah mendekati portal barulah saya tahu ternyata di situ ada kelucuan, mungkin lebih tepatnya kekonyolan. Salah satu anak menggunakan kain kafan seperti mayat yang hendak dikubur. Saya tidak maksudnya apa, kalau hendak menakut-nakuti rasanya waktu itu belum terlalu malam, masih sekitar pukul 19.30. Saya pun harus pelan-pelan mengemudikan sepeda motor, dan tak kuasa untuk menahan senyum. “Eh…ketawa..celetuk salah satu anak yang duduk di palang portal.

Sekarang memang zamannya deskrasalisasi simbol. Simbol – simbol yang tadinya dianggap sakral oleh komunitas tertentu menjadi sesuatu yang biasa atau yang lebih ngeri lagi cuma dianggap lelucon. Bahkan bagi yang cermat memanfaatkan peluang, simbol bisa diubah menjadi komoditas dagangan. Contohnya cerita sumir tentang orang meninggal yang bergentayangan yang tubuhnya dibalut kain kafan, atau pocong. Banyak cerita tentang pocong diangkat ke layar lebar, salah satunya “Pocong “Ngesot”, yang nyaris tidak ada pesan yang disampaikan, selain dagelan yang melecehkan akal sehat.

Masyarakat kita sepertinya suka bermain – main dengan kematian. Mereka menganggap kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan, bahkan kalau perlu harus disambut. Secara sarkasme hal ini bisa kita lihat pada pecandu narkoba. Sudah berapa banyak pecandu narkoba yang meninggal, baik karena over dosis maupun meninggal karena aids. Para pencandu narkoba sebenarnya paham akan risiko kematian yang menghadang. Namun kenikmatan semu menikmati narkoba menumpulkan akal sehat mereka. Saya pernah mendengar pecandu narkoba yang mengatakan jika dia sedang sakau, kalau dihadapannya ada wanita secantik bidadari dan putau (salah satu jenis narkoba), maka dia pasti akan memilih putau.Tewasnya korban narkoba, sedikitpun tidak menyiutkan nyali untuk berhenti menjadi pecandu, meskipun sang pecandu ikut melayat dan mengantarkan jenazah temannya yang pecandu ke liang lahat.

Perihal keberanian dalam menantang maut ini, pecandu narkoba tidaklahlah sendirian. Pelaku bom bunuh diri/teroris juga tidak kalah beraninya. Kalau pecandu narkoba menyongsong kematian secara melankolis, maka teroris menyongsong kematian dengan heroik. Pecandu narkoba menyongsong kematian secara perlahan – lahan, sedangkan teroris menyongsong kematian dengan sigap. Sebenarnya bukanlah hal istimewa para pecandu narkoba berani menantang maut, karena mereka toh sudah menikmati alam nirwana ketika fly menggunakan narkoba. Artinya mereka sudah mencicil kematian tiap kali zat narkoba masuk aliran darah mereka. Bagaimana dengan teroris? Teroris rela mati demi dunia ideal yang diimpikannnya. Mereka percaya kematian mereka akan dibayar dengan surga. Namun yang membuat seluruh dunia mengutuk habis – habisan pelaku teroris, mereka mati juga dengan mengorbankan orang lain yang tak berdosa yang mungkin tidak ada sangkut pautnya dengan dunia impiannya.

Tidak ada tawaran yang lebih menarik dalam menyonsong kematian, selain jalan yang ditawarkan sufisme. Sufisme memandang kematian sebagai wahana untuk bertemu dengan sang khalik. Bagi pengamal sufisme kematian harus disongsong dengan indah, caranya dengan mencintai kehidupan dan kemanusiaan. Ini yang membedakan mati cara sufisme dengan pecandu narkoba dan teroris. Bagi sang sufi dunia adalah tempat untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk bertemu dengan Tuhan. Karena itu masa hidup di dunia harus dipenuhi dengan berbagai macam kebaijikan. Seorang sufi tidak akan menghitung-hitung amal kebajikannya, sebaliknya dia harus detail melihat keburukan-keburukan yang telah diperbuat. Bagi sufi tidak ada dosa/kejahatankecil atau besar. Dosa-dosa tetaplah, karena dosa-dosa kecil yang menumpuk akan menjadi fondasi untuk membangun dosa besar. Semua ini dilakukan demi perjumpaan dengan sang Khalik. Puncak kenikmatan bagi sang sufi bukanlah surga, melainkan bertemu dengan Tuhan. Seperti yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad ketika melakukanIsra dan Miraj.

Memang terkesan sumir membandingkan pecandu narkoba, teroris, dan sufi. Namun pesannya adalah betapa kematian itu teramat dekat dengan kita. Kalau pun kita tidak berani menyongsong kematian seperti ketiga figur di atas, maka malaikat maut tetap akan menjemput kita. Ini hanya soal waktu, dan hanya Tuhan yang tahu kapan persisnya. Wallhualambishawab.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun