Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisakah Kita Mengontrol Pikiran?

17 November 2019   10:21 Diperbarui: 17 November 2019   11:13 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam program ILC yang disiarkan TVOne beberapa waktu lalu, Sujiwo Tejo seperti biasa melontarkan pernyataan menarik yang tak diduga banyak orang. Saat itu tema yang dibahas seputar revisi Undang-Undang KPK. Masing-masing pihak bertahan pada pendapat masing-masing, baik yang pro maupun kontra.

Pada intinya Sujiwo menantang para pembicara, apakah kita dapat mengontrol pikiran kita yang selalu berubah. Dia mengkritrik akan hadirnya lembaga yang akan mengontrol KPK, menurutnya kalau nanti ada lembaga yang mengontrol KPK, lalu lembaga pengontrol itu siapa yang mengontrolnya, begitu seterusnya.

Saya menangkap kegeraman Sujiwo karena semua ingin "dilembagakan" termasuk pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam pikiran manusia. Walaupun dia pada akhirnya menantang para pembicara untuk membuat sistem bagaimana agar kita dapat mengontrol pikiran manusia. Saya menyimpulkannya begini, apakah sebuah sistem bisa mengontrol pikiran manusia, sehingga output yang keluar selalu pikiran-pikiran positif atau baik.

Terkait KPK, kita bisa melontarkan pertanyaan menggunggat, mengapa kasus-kasus korupsi masih saja bermunculan meskipun sudah ada lembaga independen seperti KPK. Pertanyaan tidak berhenti di sini, apakah masih mencuatnya kasus-kasus korupsi mengindikasikan keberhasilan kita dalam memberantas korupsi atau justru sebuah kegagalan.

Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut, karena sebagian orang akan berpendapat, kita---melalui KPK---telah berhasil memberantas korupsi. Karena bisa dibayangkan jika Indonesia tanpa KPK, korupsi akan semakin merajalela. Sebagian akan menyatakan, keberhasilan KPK dalam menangkap koruptor sebenarnya hanya keberhasilan semu. Karena faktanya kita sebagai bangsa telah gagal mengendalikan korupsi meskipun sudah ada KPK.

Analoginya jika Anda memasang CCTV di toko, sebenarnya tujuannya bukan untuk menangkap maling. Tapi sebagai "pengingat" kepada mereka yang punya niat buruk untuk mencuri. Karena itu di tempat-tempat yang dipasangi CCTV biasanya ada tulisan "kawasan/area/toko ini dipasangi CCTV". Tujuannya agar orang berpikir dua kali atau urung melakukan hal-hal negatif seperti mencuri atau berbuat mesum karena akan tertangkap kamera CCTV.

Namun jika orang masih saja tetap mencuri, ada pertanyaan besar yang mesti dijawab. Mengapa mereka masih saja berani mencuri meski sudah ada pengawas. Apakah standar moral mereka demikian rendah atau hukumannya terlalu ringan. Salah satu alasannya mungkin mereka tidak takut mencuri, karena tetap akan menikmati surplus ekonomi meskipun harus masuk bui.

Pikiran memang bukan hal sederhana. Banyak pakar telah membahas masalah ini. Bagaimana pikiran manusia bisa muncul dan faktor apa saja yang memengaruhinya? Menurut teoretikus sosialisme ilmiah, Karl Marx, materialisme merupakan pencetus munculnya pikiran-pikiran manusia. Karena bagi Max pikiran bermula dari otak manusia, yang baginya hanya seonggok anggota tubuh yang dicangkokkan ke kepala manusia. Marx menyatakan, pikiran-pikiran manusia distimulasi oleh faktor eksternal atau hal-hal di luar manusia, dalam hal ini motif-motif ekonomi. 

Kaum agamawan tentu saja menolak teori Max. Murtadha Muthahhari membantah teori Marx. Menurut filsuf dan ulama Iran kelahiran 3 Februari tahun 1920 ini sejak lahir ke dunia manusia sudah dianugerahi otak yang fungsinya untuk berpikir. Jadi "kerja berpikir" merupakan anugerah yang diberikan Tuhan, bukan otak itu baru berpikir karena adanya dorongan-dorongan dari luar seperti motif ekonomi.

Kita bisa mengambil jalan tengah dari dua arus pemikiran di atas. Sebagai orang beragama tentu kita sadar betul bahwa Tuhan telah membenamkan "super chip" di tempurung kita. Namun dalam perjalanannya, cara berpikir manusia ditentukan juga oleh faktor-faktor eksternal, seperti keluarga, lingkungan, pendidikan, dan apa yang kita baca. Dengan bantuan otak manusia menyaring, menyimpan, merekontruksi, dan mendekonstruksi semua informasi yang mereka terima.

Lalu dengan apa pikiran bisa dikontrol, agar perilaku yang muncul tidak membahayakan atau merugikan orang lain dan masyarakat. Secara normatif kita akan mengatakan norma agama, norma sosial, dan norma hukum merupakan 'alarm' bagi manusia agar berpikir cermat sebelum mengambil tindakan. Namun hal ini tentu ada kelemahan kalau norma sosial semakin longgar dan norma hukum lemah. Orang akan tetap nekat berbuat jahat  karena surplus ekonomi yang diterima jauh lebih besar dibandingkan hukuman yang diterima.

Atau sebenarnya pikiran manusia tidak perlu dikontrol. Pandangan ini bukan tanpa alasan. Dalam ajaran (fikih Islam) dinyatakan, orang yang baru punya pikiran  atau niat berbuat jahat belum dicatat sebagai dosa sampai dia benar-benar melaksakannya. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan Tuhan saja berprasangka baik kepada hambanya, sehingga DIA tidak buru-buru mencatat perbuatan buruk manusia, melainkan masih menunggu.

Jika pun manusia terpaksa melakukan perbuatan dosa, hanya dicatat sebagai satu kesalahan. Sementara jika manusia baru berniat berbuat baik, menurut fikih Islam sudah dicatat sebagai satu kebaikan. Jika niat baik itu benar-benar dilaksanakan, maka hamba tersebut akan mendapat ganjaran (pahala berlipat), dicatat sebagai 10 kebaikan, 7 kebaikan, 70 kebaikan dan seterusnya, termasuk jenis amalnya.

Di samping itu, dalam agama Islam, iman juga dinyatakan fluktuatif, bisa naik dan turun. Karena itu, umat Islam diminta banyak berdoa dan berdzikir supaya dirinya selalu condong kepada Ilahi, bukan malah cenderung pada nafsu-nafsu duniawi.

Kalau memang benar pikiran manusia tidak bisa dikontrol, lalu apa yang bisa kita lakukan agar yang keluar dari pikiran manusia adalah nilai-nilai positif dan perbuatan baik. Yang diperlukan adalah sistem hukum yang baik dan penegakan hukum yang konsisten. Peraturan atau hukum harus dijalankan dengan adil tanpa pandang bulu. Perbuatan jahat mesti diganjar dengan hukum yang sesuai. Bukan menghukum dengan lebih ringan atau lebih berat dari ketentuan hukum yang berlaku.

Negara tidak perlu menghukum pikiran-pikiran buruk rakyatnya sepanjang itu masih tersimpan di kepala. Negara juga tidak perlu menaruh rasa curiga terlalu berlebihan kepada rakyatnya atau sebaliknya terlalu berprasangka baik kepada rakyatnya. Semua orang punya peluang yang sama untuk berbuat baik atau buruk. Biarlah pikiran-pikiran buruk menjadi rahasia antara si hamba dengan Tuhannya. Tugas penegak hukum hanya menghukum yang manifes atau sudah terjadi. Wallhualam bishawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun