Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Inget cerita Abu Nawas? Cincin hilang di depan rumah, dicari di ruang tamu. Alasannya, karena depan rumah gelap. Sedang ruang tamu terang. Koplak!
Nah, pemerintah pusat mirip Abu Nawas. Awal Covid-19 masih jadi ancaman, siapin kunyit dan empon-empon. Saat covid-19 sudah betul-betul masuk dan menyerbu, panik soal ekonomi. Ekonomi collaps dan datang resesi, bicara kesehatan.
Presiden siuman, sindir Windhu Purnomo, epidemiolog Universitas Airlangga. Presiden mulai menyadari betapa bahayanya pandemi covid-19. Karena itu, presiden dalam pidatonya mengungkapkan pentingnya saat ini mengutamakan kesehatan.
Menyadari penyebaran covid-19 yang makin masif, Anies Baswedan, gubernur DKI, mengambil langkah cepat. Injek rem dan memberlakukan lagi PSBB secara ketat. Para pembantu presiden teriak: "gara-gara Anies, IHSG anjlok". Para buzzer pun dikerahkan. Piye iki toh mas?
Sejumlah ekonom bilang: IHSG anjlok karena fundamen ekonomi lemah, pertumbuhan minus, rupiah jatuh, investasi menurun, dst. Kenapa yang dusalahin Anies?
Ainun Najib ngetwitt: "Catat manusia-manusia yang lupa kemanusiaannya. Mereka diam ketika angka kematian dokter terus naik (109 orang). Dan teriak ketika angka indeks saham sekali turun".
Negara ini mau dibawa kemana? Mengapa setiap ada masalah bukan fokus pada obyeknya, tapi kerahkan buzzer untuk cari kambing hitam? Bukan penyelesaian yang didapat, tapi kegaduhan.
Mestinya, semua unsur yang ada di pemerintahan pusat, termasuk para menteri, fokus saja bekerja. Identifikasi berbagai masalah, lalu pikirkan dengan serius penyelesaiannya. Jangan kerja, kerja, kerja, tapi gak tahu apa yang harus dikerjakan. Disinilah perlunya gagasan, strategi dan perencanaan yang matang sebelum kerja, kerja, kerja.
Covid-19, ini masalah kesehatan. Menteri kesehatan mestinya di garda terdepan. Kenapa justru gak kelihatan. Sementara pimpinan Satgas bukan dari orang kesehatan. Kalau memang menkes dianggap tak mampu, ganti. Lakukan reshuffle. Presiden punya otoritas. Gak usah nunggu jadual reshuffle berjama'ah. Gak mampu, ganti. Supaya mesin pemerintah bisa beroperasi dengan baik.
Belum lagi soal anggaran. Sudah dibuat dasar regulasinya. Perppu corona diterbitkan. Diperkuat lagi dengan UU No 2/2020. Penanganan corona dan dampaknya dianggarkan khusus, bahkan terus dinaikkan. Dari 405,1 T jadi 677,2 T. Naik lagi jadi 686,2 T. Dan sekarang 905 T. Tapi, kenapa covid-19 tak juga teratasi?