Zaman sekarang, di kehidupan berbangsa dan bernegara dengan taktik, intrik, politiknya, di kehidupan masyarakat, hingga kehidupan dalam sebuah rumah tangga/keluarga, sebab kemiskinan intelegensi dan personality serta picik dan licik, tradisi budaya "TIDAK ADA MAKAN SIANG yang GRATIS" terus tumbuh subur. Hanya silau harta, uang, kehidupan hedon duniawi yang dikejar dengan berbagai dalih, dengan cara menindas, menjajah, menyakiti hati dan pikiran. Tetapi, sangat mudah dibaca maksud dan tujuannya dari bukti TRANSAKSI-TRANSAKSI dan JEJAK KISAHNYA.
(Supartono JW.07092022)
Dari berbagai literasi ungkapan "No free lunch" ternyata telah mengemuka sejak tahun 1800-an. Sesuai laporan New York Times pada 1872, saat itu ada kisah menarik. Untuk menarik pelanggan, banyak bar di Crescent City (New Orleans), Amerika Serikat menawarkan makan siang gratis.
Betapa cerdasnya pemilik ide ini yang coba diimplementasikan. Pasalnya, jika ingin minum, para pelanggan tetap harus bayar. Sebab, logikanya, mustahil makan tanpa minum. Pemilik bar sengaja menawarkan makan siang gratis, karena intriknya, biaya makan siang, sejatinya ditanggung dari pembelian minuman yang mahal karena sudah dikalkulasi untuk biaya makan yang gratis.Â
Jadi, kedoknya gratis, tetapi sebenarnya pelanggan sudah membayar makan siang yang dari membeli minuman.
Para pemilik bar pun punya jurus lain yang sudah diracik dan cerdas. Bila pelanggan tidak membeli minum, maka menu makan siangnya dibuat tinggi garam, sehingga mau tak mau pelanggan membeli minum. Bahkan malah membeli minum tambahan alias nambah minum.
Begitulah  ide  "No free lunch" alias "Tidak ada makan siang yang gratis".
Di kehidupan kini
Dalam kehidupan terkini, "No free lunch" alias "Tidak ada makan siang yang gratis", di Indonesia pun semakin tumbuh subur. Siapa para pelakunya, mulai dari para elite di negeri ini sampai rakyat jelata.
Di Pemerintahan