Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Pelaku Meremehkan Hal atau Orang Lain?

10 Januari 2022   10:34 Diperbarui: 10 Januari 2022   10:36 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Contoh kasus, dalam berbagai grup Sekolah Sepak Bola (SSB) misalnya, mentang-mentang sudah terpilih masuk tim dan ikut dalam kompetisi, banyak orang tua siswa yang seenaknya meremehkan kehadiran anaknya dalam latihan atau tanding uji coba tim. Menganggap latihan atau uji coba tak harus dihadiri, tak penting. Sudah begitu, tanpa ada komunikasi izin, dan slanang-slonong tak punya etika.

Ada yang merasa karena sudah jadi pemain yang hebat. Mirisnya, passing-control saja masih jelek, tapi malah merasa hebat sendiri. Itu karena tak memiliki personaliti yang baik. Attitude buruk, tak tanggungjawab dan tak beretika.

Padahal, permainan sepak bola adalah permainan tim, yang butuh kekompakan dan kerjasama. Tanpa latihan, maka seorang pemain sepak bola yang sedang terlibat dalam sebuah kompetisi, maka sejatinya dia sudah menghambat dirinya sendiri dan menghambat tim. Terlebih bila kompetisi ada peraturan degradasi. Cilakalah tim.

Kasihan Manajemen SSB, kasihan perjuangan dan pengorbanan orang tua dan siswa lain yang disiplin dan  bertanggungjawab, tapi harus menanggung kegagalan.

Dalam kasus lain, lihatlah apa yang setiap detik terjadi dalam cuitan Twitter manusia-manusia Indonesia. Karena persoalan lawan dan perbedaan dukungan politik, maka persoalan remeh dan meremehkan terus berkibar dan berkobar.

Yang pasti, semakin ke sini, kita akan sangat mudah menjumpai sikap meremehkan, baik di dalam keluarga, di masyarakat, di perkumpulan atau grup, di sekolah, kampus, di tempat pekerjaan, hingga di parlemen dan pemerintahan. Sikap remeh dan meremehkan bahkan sudah menjadi orkestra di semua lini kehidupan masyarakat Indonesia.

Ironis, sikap remeh dan meremehkan seolah menjadi Kurikulum Pendidikan Baku di Indonesia, yang dalam realisasi dan penerapan pembelajarannya tidak perlu diajarkan dan didik di bangku pendidikan formal. Sebab, terus menggelora di dunia maya, media sosial, dan dipraktikkan pula dalam kehidupan nyata, mengalahkan Kurikulum Pendidikan yang digariskan dan terus bermasalah.

Saya pelaku?

Sikap meremehkan, identik dilakukan oleh orang-orang yang tak cerdas personaliti alias tak cerdas mental dan emosi. Sayangnya, sikap meremehkan yang biasanya dilakukan oleh orang yang tak intelek, tak cerdas intelegensi atau otak, kini justru banyak dilakukan oleh orang-orang yang terkategori intelek dan berpendidikan. Ini akibat adanya degradasi di berbagai bidang, hingga akhirnya moral dan budi pekerti pun tergerus.

Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), remeh itu, tidak penting, tidak berharga, kecil. Sementara, meremehkan adalah merendahkan, mengabaikan, memandang remeh.

Apakah saya sering meremehkan sesuatu? Meremehkan orang lain? Baik secara langsung maupun tidak? Menganggap bahwa orang lain memiliki kemampuan di bawah saya? Dan sejenisnya? Yakin, tanpa disadari, secara manusiawi, saya melakukan hal itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun