Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Membikin Sepak Bola Nasional Bangkit, Singkirkan Biang Keladinya!

3 Desember 2021   08:06 Diperbarui: 3 Desember 2021   08:57 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila membentuk calon pemain timnas dengan stek batang atau cangkok, itu ibarat meminta pemain keturunan yang sudah di bina ilmu dan praktik sepak bolanya di negara lain, Indonesia tinggal memetik tanpa menanm, dengan menyetek batang (baca: pemain) gabung dalam timnas Indonesia setelah melalui proses naturalisasi warga keturunan.

Cara yang paling instan adalah membeli pohon yang sudah jadi di tukang tanaman. Ini sama saja dengan menaturalisasi pemain dari Warga Negara Asing (WNA) dengan prasyarat naturalisasi. 

Jadi, untuk membentuk timnas yang handal, tidak melempem fisik (speed) tidak lemah berpikir, cerdas otak dan emosi (intelegensi dan personaliti), serta kompeten dalam passing-control (teknik),  harus dengan cara menanam dari biji? Dari stek batang? Cangkok? Atau beli tanaman jadi di penjual tanaman?

Apakah sepak bola akar rumput akan terus dibiarkan dikelola olah orang yang tidak kompeten dan bukan ahli di anak usia dini? Sehingga anak-anak akan terus dicekoki dasar teknik dan speed sepak bola yang salah, pun tak pernah mendapat keseimbangan asupan untuk intelegensi dan personaliti karena pembina dan pelatihnya tak memenuhi prasyarat mengampu anak usia dini dengan benar. 

Meski hanya sekadar permainan sepak bola, dalam pembelajaran, pelatihan, pembinaan, dan pendidikan usia dini, pembina dan pelatih wajib memiliki kecakapan Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, Kompetensi Pedagogik, serta Kompetensi Sosial.

Sudah menjadi persoalan klasik, individu yang memilih menjadi pesepak bola di Indonesia, rata-rata nilai rapor di sekolah formalnya sekadar formalitas. Tak belajar tapi ada nilai di rapor. Pertanyaannya, kapan dan di mana siswa yang menggeluti sepak bola, terdidik di sekolah formal dengan benar? Artinya intelegensi dan personaliti tak tersentuh, siswa hanya dicekoki teknik dan speed sepak bola, tanpa dasar kecerdasan otak dan emosi yang kuat. 

Bagaimana siswa atau pesepak bola yang tak kuat asupan intelegensi dan personalitinya dapat cerdas dan tak emosional dalam bermain sepak bola? Karena itu, fisiknya pun tetap lemah, passing-control bermasalah, karena asupan pembinaan dan pendidikan untuk intelegensi dan personaliti kurang atau tak pernah diberikan. Fatal.

Lihatlah kabar terbaru, di laga Liga 3 di salah satu provinsi Indonesia, mantan pemain yang pernah berjersey timnas Indonesia, bisa terprovokasi penonton. Lalu naik ke tribun dan menendang penonton. Wasit pun melayangkan kartu merah. Apakah cukup dengan hukuman kartu merah? Lalu di laga-laga lain, betapa sepak bola Indonesia jadi ajang adu bogem mentah, meski di lapangan bola?

Semoga, di tangan STy, timnas yang ditugasi membawa nama bangsa dapat lepas dari kutukan spesislis runner-up Piala AFF yang tinggal hitungan jam lagi bergulir.

Dan bagaimana pemerintah? Tidak susah mencari jarum di tumpukan jerami lho. Seperti bagaimana membuat sepak bola nasional bangkit. 

Ayo singkirkan biang keladinya!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun