Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengin Tahu Deh, Warna Hati Saya Apa, Ya?

8 November 2021   11:16 Diperbarui: 8 November 2021   11:53 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pengin tahu deh, warna hati saya, sesuai sikap dan perilaku saya selama ini, apa, ya? Ini menyoal warna hati ungkapan ya, bukan warna hati organ tubuh kita yang sebenarnya. 

Mengapa banyak orang kaya harta yang tetap peduli dan punya hati kepada orang lain yang kesusahan? Lalu, mengapa banyak pula orang miskin harta juga tetap peduli dan punya hati terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain, meski untuk menghidupi diri dan keluarganya susah?Mungkin yang orang-orang di golongan ini memang dianugerahi pikiran-hati emas berlian bawaan sejak lahir dan bakat limpahan alam, hingga pikiran dan hatinya selalu menjadi emas di antara bebatuan. Senantiasa menjadi berlian di antara emas.

Sebaliknya, mengapa tetap banyak orang kaya harta, tetapi tetap tak peduli dan tak punya hati terhadap kesulitan, penderitaan, dan kesusahan orang lain? Mirisnya, orang di golongan ini, bukan hanya tak peduli dan tak punya hati untuk orang lain. Untuk dirinya sendiri dan keluarganya saja, kikir (terlampau hemat memakai harta bendanya, pelit), seperti kekayaan harta akan dibawa ke liang kubur.

Apalagi, di tengah pandemi corona, tetap terkuak orang-orang yang bila dilihat hatinya, mungkin warnanya sudah hitam pekat, karena licik dan kikir,  sebab justru sibuk memperkaya diri sendiri bersama golongannya di atas penderitaan rakyat. Atau warna hatinya bak pelangi, karena punya berbagai muslihat. Atau sebenarnya, warna hatinya putih atau merah?

Sepertinya, pengingat bahwa sebagian harta atau rezeki yang kita dapat dan miliki adalah milik orang lain, hanya sebagai slogan dan angin lalu, karena mata hatinya telah dibutakan oleh harta,  duniawi, sampai kehidupan hedonis, dan menandakan tak pernah tersentuh hati untuk pandai bersyukur.

Faktanya, di antara orang yang kaya harta   dan miskin harta tetapi tetap peduli dan punya hati, juga tidak semua dari kalangan keluarga yang mengenyam bangku pendidikan. Mereka peduli dan punya hati karena di keluarganya telah tertanam, terdidik, dan mewarisi budaya kebenaran untuk bagaimana menjadi manusia yang peduli, punya hati, dan turut merasakan atau pernah merasakan kehidupan yang susah, menderita, dan kesulitan.

Belum selesai dengan dirinya

Tentu kita sering mendengar atau membaca atau pernah ikut diskusi, seminar, pelatihan, yang sering mengungkap tentang masih banyaknya, orang-orang yang belum selesai dengan urusannya sendiri.

Mengapa tetap ada orang yang tidak pernah selesai dengan urusannya sendiri? Padahal ibadahnya rajin, pendidikannya tinggi? Hidupnya terus memakai topeng, sembunyi di balik punggung orang lain, tetapi urusannya sendiri maunya tetap mudah, dinomorsatukan, tetapi tak punya simpati, empati, dan peduli, karena miskin hati.

Orang-orang seperti ini, selain dalam hidup tak pernah merasa bersyukur, juga segala sesuatunya selalu merasa kurang dan kurang. Orang lain adalah masalah dan biang keladi bagi urusan mereka bila gagal, dan menjadi kambing hitam.

Orang yang belum selesai dengan dirinya, biasanya, tidak mau mendengarkan orang lain, dan banyak bicara demi menguntungkan dirinya. Iri dengan orang lain, tak mau mendengar masukan dan pendapat orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun