Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengambil dan Menahan Hak Orang Lain

21 September 2021   08:49 Diperbarui: 21 September 2021   08:51 2531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ingat, berapa kali Presiden kita marah menyoal penyerapan anggaran di daerah saat pandemi corona terus merajalela. Ternyata, daerah juga sangat hobi mengendapkan uang anggaran dari pusat.

Bahkan sebelum pandemi, masyarakat pun sampai hafal, mengapa di beberapa daerah, perbaikan sarana umum seperti jalan misalnya, selalu dikerjakan di penghujung tahun.

Sepertinya, hal ini juga terkait menyoal mengendapkan uang yang bukan hakya di Bank, dengan maksud mencari selisih keuntungan.

Dalam kasus sepak bola nasional misalnya, banyak pesepak bola negeri ini  yang akhirnya selalu terkendala masuk timnas karena siapa yang selama ini menjadi sutradara dalam penentuan pemain yang dipanggil masuk timnas. Meski memiliki standar dan talenta, tetap saja menjadi pemain timnas tetap mimpi.

Dan dalam berbagai segi kehidupan, menyoal mengambil dan menahan hak orang lain, mau seperti apa pun caranya, tidak ada yang sulit ditebak arah dan maksudnya, lho.

Lihatlah rezim di negeri ini, berbagai pihak dan rakyat sampai bilang, bangsa ini masih dijajah oleh anak negeri sendiri. Bukan lagi oleh penjajah kolonialisme. Artinya, manusia-manusia yang seharusnya amanah, yang duduk di parlemen malah mengeruk uang rakyat. Belum lagi yang di pemerintahan. Siapa.yang terus menikmati kekayaan alam dan isinya di negeri ini? Tapi rakyat tetap menderita.

Oh ya, maaf. Mengingatkan pula untuk media yang kita cintai ini, Kompasiana. Sebab, saya pernah membaca ada kompasianer yang sampai berkesah menyoal, mengapa artikelnya tak naik jadi artikel pilihan apalagi artikel utama? Meski seharusnya layak mendapatkan. Pasalnya, bila artikel menjadi pilihan apalagi utama, tentu akan ada signifikasi terhadap jumlah pembaca.

Ada juga kompasianer yang bertanya kepada saya. Mengapa artikel sudah diberikan nilai oleh beberapa pembaca, tetapi di tanda vewers (pemirsa), kok masih 0. Apa mungkin si pemberi nilai tak membaca artikel dulu? Artinya, apakah viewers artikel bisa diatur? Seperti penghargaan terhadap artikel pilihan dan artikel utama?

Meski menulis di media ini ada reward bagi yang punya hak, tapi sejak saya membagikan artikel saya di media ini, saya hanya niat berbagi. Jadi, saya tidak pernah memikirkan apakah artikel saya akan dibaca oleh banyak pemirsa, atau apakah akan banyak yang memberi nilai. 

Apakah akan diberikan penghargaan artikel pilihan atau utama. Terpenting, saya plong telah menyimpan kisah nyata di dunia ini dalam bentuk artikel sesuai jangkauan potret saya dan artikel pun sesuai radius potret kisah.

Kembali ke kisah orang yang suka mengambil dan menahan atau mengurangi dan menghentikan hak orang lain. Dalam agama apa pun hal itu tak dibenarkan dan perbuatan dzalim, dosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun