Saat itu, Jokowi menandatangani Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres itu, Jokowi menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan setelah oleh Mahkamah Agung (MA) kenaikan BPJS Kesehatan sempat dibatalkan.
Sebetulnya saat itu banyak pihak yang menilai langkah Presiden kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan MA, sebab hal itu dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.
Bagaimana tidak, Jokowi menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, berikutnya pada akhir Februari 2020, MA membatalkan kenaikan tersebut.
Sejatinya putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden dan tertuang dalam Undang-undang tentang MA dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.
Kendati putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan, tetapi saat dibuat Perpres baru Nomor 64 Tahun 2020 nominalnya dibuat berbeda dengan kenaikan sebelumnya.
Karenanya, meski langkah presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan, tapi di situlah nampak upaya main hukumnya. Dengan demikian presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA. Faktanya, meski kembali digugat, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 lolos di MA.
Bila tiga menteri meniru langkah Jokowi dan arahan MA, sepertinya, pembatalan SKB tiga menteri tentang seragam kali ini, hanya sekadar langkah agar dibuat SKB tiga menteri yang baru dan mustahil dibatalkan MA bila digugat kembali.
Mungkinkah? Sepertinya, bisa jadi, akan terbit SKB tiga menteri tentang seragam sekolah baru yang kebal gugatan dan lolos di MA, seperti Perpres Nomor 64 Tahun 2021, tentang kenaikan tarif BPJS Kesehatan.