Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sedihnya Nenek Moyang, Bangsa Ini Kini Terburuk dalam Sopan Santun

26 Februari 2021   10:19 Diperbarui: 26 Februari 2021   10:24 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sebelum Indonesia merdeka dari penjajahan kolonialisme hingga lepas dari belenggu penjajahan, nenek moyang dan masyarakat Indonesia dikenal sopan santun dan ramah tamah oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Namun, seperti telah dilansir oleh berbagai media massa di Republik ini, hasil riset Digital Civility Index (DCI) kelima kalinya yang dilakukan Microsoft pada April-Mei 2020 ini menyasar 16.000 responden yang tersebar di 32 geografi, dalam hal sopan-santun, warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, yang paling tidak sopan.

Sopan-santun, ramah-tamah terburuk

DCI yang mengukur tingkatkesopanandigital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya melaporkan bahwa tingkat kesopanan warganet Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk.

Berdasarkan laporan DCI netizen Singapura yang juga menempati peringkat keempat secara global, dengan total 59 poin menjadi peringkat pertama yang sopan di Asia Tenggara, berikutnya:

Malaysia dengan 63 poin, Filipina 66 poin, Thailand posisi keempat dengan 69 poin, disusul Vietnam urutan kelima dengan 72 poin. Artinya, dengan 76 poin, netizen Indonesia menjadi yang paling tak sopan di Asia Tenggara.

Secara data, tingkat ketidaksopanan paling tinggi didominasi pengguna usia dewasa dengan persentase 68 persen, dengan tiga faktor yang menjadi sebab ketidaksopanan, yaitu hoaks dan penipuan yang naik 13 poin ke angka 47 persen, ujaran kebencian naik 5 poin, menjadi 27 persen, dan diskriminasi sebesar 13 persen.

Sejatinya, tanpa perlu dilakukan riset, masyarakat Indonesia secara umum juga merasakan kehilangan atas warisan sopan-santun dan ramah-tamah yang ditinggalkan oleh nenek moyang asli bangsa Indonesia, yaitu bangsa pribumi yang juga terdiri dari berbagai etnis dan suku.

Mengapa bangsa pribumi? Sebab, zaman penjajahan kolonialisme, para penjajah memang sangat tegas memisahkan garis masyarakat seperti pribumi, non pribumi, hingga ekstrimis yang berjuang memerdekaan bangsa ini.

Namun, bila mengacu pada satu masa sejak Pilkada DKI dan Pilpres yang ditandai oleh munculnya julukan rasis cebong, kampret, kadrun, hingga naik daunnya cukong, tentu masyarakat tahu, itu zaman siapa dan rezim siapa.

Bila nenek moyang asli pribumi masih hidup, tentu mereka akan sangat sedih, sebab Indonesia terkini malah terus dibikin kisruh oleh kelompok masyarakat yang justru menonjolkan etnis dan agama tertentu, yang seolah malah sudah merampas negeri ini dan lebih menjajah dari penjajah kolonialisme, serta memporakporandakan nilai-nilai etika, tata krama, hingga saat dunia digerus digitalisasi, maka ketidaksopanan masyarakat yang bak penjajah baru itu mengemuka dan terus berjaya di dunia maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun