Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Perkara Demokrasi Selalu Diarahkan ke MK?

4 Desember 2020   08:21 Diperbarui: 4 Desember 2020   08:29 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sebagai negara demokrasi dan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat, tetapi rakyat selalu diarahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bila tidak setuju dengan terbitnya kebijakan dan keputusan berupa Undang-Undang (UU) oleh pemerintah dan parlemen.Tak perlu lagi diidentifikasi, berapa banyak UU yang diterbitkan, sebelumnya bahkan sudah didemonstrasi oleh rakyat karena suara rakyat tak didengar dalam melahirkan UU tersebut.

Sudah suara rakyat tak didengar, demontrasi yang bahkan lahirkan korban jiwa, tak digubris oleh sang penguasa. Malah  banyak yang ditangkapi karena dianggap anarkis dan sebagainya, meski belakangan diketahui bahwa itu hanyalah skenario dalam rangka memuluskan UU tetap terbit dan berlaku.

Aneh, rakyat tidak setuju dengan terbitnya UU, namun pemerintah dan parlemen memaksakan kehendaknya karena beban mereka bukan amanah untuk rakyat, tapi amanah kepada pihak aseng dan asing.

Lalu, mengarahkan rakyat menempuh jalur hukum. Seperti terbitnya UU Cipta Kerja, meski rakyat sampai berkali-kali demonstrasi, Presiden Jokowi bukannya merespin tuntutan rakyat, namun dengan enteng mempersilakan yang tidak setuju melakukan uji materi ke MK jika keberatan dengan UU Cipta Kerja padahal rakyat berkehendak Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan omnibus law itu.

Bahkan jauh sebelumnya, rakyat pun sudah berteriak dan seharusnya tidak sampai terbit UU Cipta Kerja, tidak perlu ada tuntutan terbit perpu. Tapi semua tak dianggap, dan ujungnya enteng sekali, rakyat yang tidak setuju untuk menuntut via MK.

Luar biasa, tradisi menempuh jalur ke MK rasanya kini memang sengaja dibudayakan oleh rezim sekarang. Pun rakyat juga tahu dan paham siapa yang ada di balik keberadaan MK.

Semua semakin menunjukkan bahwa suara rakyat tak lagi dibutuhkan oleh pemerintah dan parlemen. Mereka bekerja hanya demi untuk rezimnya, kelompok oligarkinya, dinasti politiknya, dan patuh kepada junjungan yang memberikan pendanaan.

Kedaulatan rakyat tak ada lagi harganya. Keadilan dan demokrasi hanya kata-kata yang tak membumi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Atas kondisi ini, memang sangat wajar bila pada akhirnya sejumlah tokoh menghadiri kegiatan dialog nasional secara virtual, sebab sikap pemerintah dan parlemen sudah tak seperti harapan rakyat.

Bahkan, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro sampai menilai bahwa kelompok seperti Alumni 212 bisa jadi tetap eksis ke depannya selama misinya belum terwujud. "Ke depan 212 bisa jadi tetap eksis selama misinya belum terwujud. Mereka tak hanya solid tapi akan tetap menjaga solidaritas antar mereka," ujar Siti Zuhro, seperti saya kutip dari SINDOnews, Rabu (2/11/2020).

Zuhro juga menambahkan, sistem demokrasi mensyaratkan adanya checks and balances antara legislatif dan eksekutif. Sistem demokrasi juga membolehkan dan memberi peluang adanya oposisi sebagai pengimbang penguasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun