Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru=Ujung Tombak

25 November 2020   08:22 Diperbarui: 25 November 2020   09:35 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Cerdas akal dan pikiran, rendah hati, santun, berbudi pekerti luhur serta berkarakter dalam perilaku kehidupan adalah wujud dari manusia terdidik. (Supartono JW.25112020)

Tanpa mengurangi rasa hormat atas perjuangan guru, dan saya pun melihat berbagai keberhasilan yang telah dilakukan dan disumbangkan oleh guru, dalam artikel ini, saya hanya menyorot hal-hal yang membuat pendidikan di Indonesia terus terpuruk.

Siapa yang memiliki tanggungjawab menghasilkan manusia Indonesia cerdas akal dan pikiran, rendah hati, santun, berbudi pekerti luhur serta berkarakter dalam perilaku kehidupan? Satu di antara jawabnya adalah guru. Lebih tepatnya guru dalam arti denotatif dan guru dalam arti konotatif.

Guru denotatif adalah yang bertugas mendidik di sekolah, dan guru konotatif adalah berbentuk pengalaman, panutan, teladan, contoh dll.

Lalu, mengapa sudah 75 tahun Indonesia merdeka, pendidikan di Indonesia masih tertinggal? Bahkan bersaing di Asia Tenggara saja masih tercecer. 

Berdasarkan hasil penilaian Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah.

Dari hasil penilain PISA, dengan metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global, meyatakan bahwa nilai tingkat membaca siswa Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sementara nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Nilai tersebut cenderung stagnan dalam 10 - 15 tahun terakhir.

Selain hasil rapor penilain PISA yang cenderung stagnan dalam 10 -15 tahun terakhir, bangsa ini juga dapat melihat sekaligus merasakan, bagaimana sikap masyarakat Indonesia pada umumnya yang pernah terdidik dari wujud kecerdasan akal dan pikiranya, kerendahan hati, kesantunan, berbudi pekerti luhurnya, serta karakter dalam perilaku kehidupan sehari-harinya.

Bila melihat hasil rapor PISA dan sikap perilaku kehidupan sehari-hari, dari rakyat jelata hingga rakyat tak biasa, kini semakin nampak tak ada bedanya. Malah  para manusia terdidik yang kini duduk di kursi terhormat saja, banyak yang tak dapat menjadi panutan dan teladan.

Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga, itulah gambaran proses dan hasil pendidikan di Indonesia hingga berusia 75 tahun. Rapor pendidikan secara akademis selalu terpuruk, jatuh. Sudah begitu terus tertimpa tangga karena jauh dari suri teladan.

Semua akar masalah pendidikan ini, sumber dan benang kusutnya ada di pundak guru denotatif dan konotatif yang belum mampu bertanggungjawab duduk sesuai fungsi dan tugasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun