Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Diri Sendiri Lebih Mudah bila Pandai Bersyukur

30 Oktober 2020   07:43 Diperbarui: 30 Oktober 2020   08:00 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Juproni.com

Hari Kamis, (29/10/2020) tepat di hari Libur Nasional, Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, ada sebuah judul berita di media massa online dengan diksi "bermuka dua". Ternyata judul itu memberitakan tentang kegemasan pemimpin tertinggi partai politik di Indonesia karena kadernya banyak yang "bermuka dua", bahkan berkaki dua.

Sejatinya, persoalan ungkapan bermuka dua, berkaki dua yang tidak berbeda dengan ungkapan "bertopeng" atau "berpura-pura" karena tidak menjadi dirinya sendiri ini, bukanlah fenomena baru. Namun, hal ini justru sudah menjadi tabiat manusia yang karakternya tak berbudi pekerti luhur, karena terus diwarisi oleh generasi pendahulunya.

Biasanya, manusia atau orang yang berperilaku bermuka dua, berkaki dua, bertopeng, berpura-pura adalah mereka yang tidak dapat memerankan menjadi dirinya sendiri karena berbagai latar belakang dan tujuan, serta hati dan pikirannya dipenuhi oleh ambisi. 

Mereka orang-orang cerdas intelegensi dan emosi, tapi berakal licik yang bila dianalogikan dengan ungkapan, bila rakyat biasa untuk makan saja susah hingga pertanyaannya menjadi "Hari ini bisa makan atau tidak?" Berbeda dengan kelompok ini yang pertanyaannya "Hari ini makan siapa?"

Bahkan kini selain perilaku ini sangat lekat pada individu elite partai politik, perilaku bermuka dua ini pun sudah mulai membudaya pada masyarakat sejak gelaran Pilkada DKI dan Pilpres yang tentu dapat ditebak zaman siapa.

Namun, yang kini sangat mencolok adalah sikap masyarakat yang tidak lagi menjadi dirinya sendiri dan terbelah dan terus berseteru karena peristiwa politik dan beda junjungan.

Di luar urusan politik, orang-orang macam ini juga "berceceran" karena mereka hanya mengejar gengsi, kemewahan hidup, dan gaya hidup yang tak mau kalah dengan orang lain.

Sejatinya, ketika kita bertanya pada diri sendiri, bagaimana rasanya ketika saya harus berpura-pura menjadi orang lain? Bukan menjadi diri sendiri. Lalu, memerankan tokoh dalam kehidupan nyata menjadi bermuka dua, berkaki dua, dan berpura-pura karena ada latar belakang dan tujuan yang dasarnya tidak sesuai dengan pikiran dan hati nurani saya dan bertopeng.

Dari pikiran dan hati saya terdalam, sebab saya sering memerankan tokoh lain dalam pentas drama panggung, bukan drama dalam kehidupan nyata, saya merasakan aneh, tidak santai, terlebih wajib bertanggungjawab atas kualitas peranan saya sesuai karakter tokoh seperti aslinya.

Pertanyaannya, kira-kira bagaimana dengan orang-orang yang dalam kehidupan nyata harus memerankan diri sebagai orang yang bertopeng, bermuka dua, berkaki dua, dan hidupnya penuh kepura-puraan yang lebih dari sandiwara di atas panggung drama?

Apakah sepanjang hidupnya orang-orang semacam ini akan tenang, nyaman?Terlebih harus selalu tampil dalam kepura-puraan, kebohongan, dan kepalsuan, terlebih selalu dikejar-kejar ketakuatan di balik topeng dan kepura-puraannya karena tidak mau orang lain tahu. Apalagi bila orang ini sudah masuk kategori penjilat dan hukum selalu menantinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun