Mungkin tidak populer, namun istilah "Marah Tingkat Rendah dan Marah Tingkat Tinggi" (MTR dan MTT) dalam dunia pendidikan bahkan sudah pernah saya bagi kepada murid-murid saya sejak puluhan tahun yang lalu karena hal ini termasuk dalam ranah keterampilan berbahasa dan literasi seseorang.Intinya, bila ada skala 0-10 saat kita marah, baik dari segi vokal (volume suara), intonasi, ekspresi, dan bahasa tubuh, saat kita harus marah kepada sesama orang yang tingkat kecerdasan integensi dan emosiya tinggi, maka tak perlu kita MTR yang harus menggunakan skala 8/9/10. Tak perlu dengan lontaran kata-kata, tak ada volume bicara, tak ada intonasi dan ekspresi, cukup dengan bahasa tubuh diam. Maka, orang yang kita tuju marah, tentu akan paham dengan sikap yang kita tunjukkan di hadapannya.
Berbeda dengan saat kita harus marah kepada orang yang tingkat intelegensi dan emosinya rendah. Mereka tak akan paham kita marah, bila hanya dengan cara diam. Menghadapi mereka, kita butuh energi lebih karena kita bisa jadi harus melakukan marah dengan bersuara, berintonasi, berekspresi, dan berbahasa tubuh yang skalanya tinggi, di antara 8 sampai 10. Dengan begitu, mereka akan paham bahwa kita sedang marah.
Artinya, bila kita marah kepada sesama orang yang cerdas intelegensi dan emosi, maka tekniknya berbeda saat kita marah kepada orang yang tak cerdas intelegensi dan emosi.
Jadi, istilah MTR itu, harus dengan skala 7-10. Sebaliknya, MTT cukup dengan skala 0 atau 1.
Indonesia penuh MTR
Mengapa istilah MTR dan MTT ini saya coba kemukakan? Pasalnya di Indonesia terkini sedang berlangsung "pertunjukkan drama" yang terus berkutat pada adegan-adegan MTR yang diaktingkan oleh para aktor-aktornya.
Lalu, siapa aktor-aktor yang menjadi pemeran utamanya? Mereka adalah para elite partai di parlemen, elite partai di pemerintahan, para buzzer, polisi, penunggang kepentingan, anarko, media massa, serta buruh dan mahasiswa yang merepresantiskan rakyat.
Masing-masing dari semua tokoh tersebut, kini semuanya hampir sama sedang memerankan tokoh yang mengusung misi dan tujuan berbeda, namun dengan akting yang sama, yaitu melakukan adegan sesuai skenario masing-masing dengan format MTR.
Sejatinya, mereka semua dapat memerankan tokoh yang mengusung format adegan MTT. Namun, sesuai tugas dan fungsinya, serta situasinya, terpaksa mereka semua sedang memainkan adegan MTR.
Sebagai aktor-aktor handal yang cerdas intelegensi dan emosi, sebenarnya bisa saja, mereka melakukan adegan dengan MTT, tapi kali ini, terpaksa mereka harus akting dengan MTR tanpa memikirkan rakyat "jelata" yang belum pandai berakting MTR dan MTT menjadi "korban" permainan yang pada dasarnya "tingkat tinggi atau tingkat dewa".
Sebagai contoh adegan drama dalam kasus UU Cipta Kerja. DPR dan Pemerintah sengaja melakukan adegan MTR yaitu dengan tidak mendengarkan suara rakyat hingga terus melahirkan UU yang sejak awal penuh kontroversi ini.