Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Kabar Nawacita Revolusi Mental Karakter Bangsa?

13 September 2020   16:48 Diperbarui: 13 September 2020   16:55 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Supartono JW

Kondisi terkini di negeri ini, rakyat terus disuguhi drama perseteruan tak berujung dari kelompok A dan kelompok B yang akar masalahnya sama. Sehingga, apa pun persoalan yang timbul atau ditimbulkan atau sengaja dihembuskan akan selalu mengulik akar masalah yang sama yang bermuara pada politik dan kekuasaan.Ironisnya, baik kelompok A maupun kelompok B ini kedudukan dan fungsi tugasnya juga sama, di pemerintahan menjalankan amanat rakyat.

Sayang, akibat politik kepentingan dan kekuasaan, perseteruan tak berujung menjadi prioritas pilihan demi untuk menjatuhkan lawan sekaligus pembunuhan karakter.

Sampai-sampai nawa cita penguatan karakter yang digaungkan Presiden Jokowi demi melakukan revolusi karakter bangsa pun lenyap tak berbekas, sebab kalah saing dengan program pembunuhan karakter yang terus terjadi di Republik ini.

Bagaimana revolusi karakter bangsa yang niatnya dititipkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengimplementasikan penguatan karakter penerus bangsa melalui gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digulirkan sejak tahun 2016, dapat terwujud, Kemendikbud sendiri hingga saat ini malah masih berkutat dengan masalahnya sendiri yang tak kunjung kelar.

Padahal saat itu, sesuai arahan Jokowi, nawa cita revolusi penguatan karakter ini, di jenjang pendidikan dasar mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan pendidikan yang mengajarkan pengetahuan. Untuk sekolah dasar sebesar 70 persen, sedangkan untuk sekolah menengah pertama sebesar 60 persen.

Bahkan saat itu, dengan lantang Mendikbud Muhadjir Effendy dengan lantang mengungkapkan bahwa gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah fondasi dan ruh utama pendidikan.

PPK juga menyasar olah pikir (literasi), olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah raga (kinestetik)

Tak hanya olah pikir (literasi), PPK mendorong agar pendidikan nasional kembali memperhatikan olah hati (etik dan spiritual) olah rasa (estetik), dan juga olah raga (kinestetik).

Yang menjadi pertanyaan, hingga sekarang Kemendikbud dijabat Nadiem, di mana empat dimensi literasi, etik dan spiritual, estetik, dan kinestetik itu tertanam secara integritas pada anak SD dan SMP? Bagaimana hasilnya? Lalu, apa kabar anak SMA, mahasiswa, masyarakat umum, pejabat, elite partai, dan para pemimpin negeri?

Bagaimana anak SD dan SMP, SMA, mahasiswa, dan masyarakat umum dapat  berkarakter sesuai harapan PPK, bila para pemimpin negeri malah lupa dengan karakter yang seharusnya dimiliki sesuai nawa cita itu?

Padahal bila niat revolusi karakter bangsa  ini bukan hanya "janji di siang bolong" yakin, dalam kondisi pandemi corona, rakyat Indonesia akan bersatu, tak abai, dan percaya kepada pemerintah, karena pemerintah memang dapat dipercaya.

Sekarang apa yang mau dijawab pemerintah, dan apakah pemerintah dapat menyebut dengan data tentang kemajuan dan hasil nawa cita revolusi karakter bangsa?

Padahal, bila revolusi ini diimplementasikan dengan benar, lalu para pemimpin juga terus menjadi teladan dan panutan menyoal empat dimensi gerakan PPK itu, maka akan ada garansi mengakarnya karakter religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotongroyongan yang masing-masing nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi manusia Indonesia yang berkarakter.

Betapa sejuknya bila kita semua dapat melihat manusia Indonesia berkarakter religius yang benar, berjiwa nasionalis, berintegritas, mandiri, dan selalu bahu-membahu bergotong royong dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu, kelompok, dan golongan, dan akan jauh dari jiwa-jiwa yang bebal dan terus diselimuti karakter ambisius dan pendendam, sekaligus gemar membunuh karakter seseorang karena "kepentingan" dan tuntutan "junjungan".

Apakah pemimpin negeri ini juga masih ingat dengan Tri Pusat Pendidikan (TPP), yaitu sekolah, keluarga (orang tua), serta komunitas (masyarakat) agar dapat membentuk suatu ekosistem pendidikan. yang berkarakter sesuai nawa cita revolusi?

Percuma rasanya ada PPK, ada TPP, namun selain tak tergarap dengan benar, bahkan dilupakan, demi kekuasaan dan politik, "rakyat" justru terus disuguhi karakter bangsa yang tak literatif, tak etik, tak spiritual, dan tak estetik.

Bagaimana Bapak Presiden? Nawa cita revolusi karakter bangsa ini? Apa akan tetap dilanjutkan atau dilupakan? Andai saja, nawa cita ini tergarap dan berhasil, lalu para pemimpin menjadi panutan, bangsa ini semakin hebat, karena rakyatnya berkarakter mulai dari usia akar rumput hingga usia rambut memutih.

Sayang, yang sekarang terus diimplementasikan adalah pendidikan karakter pendendam, karakter tak santun, karakter berseteru, karakter berambisi, dan karakter membunuh karakter. Jauh dari spiritual dan etika, seperti hidup di dunia untuk selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun