Pendahuluan
Warisan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas suatu bangsa. Namun, dalam era kapitalisme global, ternyata budaya tidak lagi hanya menjadi warisan yang mesti dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi, melainkan juga dikomodifikasi untuk kepentingan ekonomi. Proses ini mengubah warisan budaya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan industri pariwisata.
Dalam perspektif Marxis, seperti yang dikemukakan oleh Ristiawan (2021), budaya diposisikan untuk menarik wisatawan sehingga positif demi surplus keuntungan ekonomi. Hal ini memunculkan dilema: di satu sisi, budaya menjadi sumber ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat sekitar kawasan (masyarakat lokal), namun dilihat dari sisi lain, nilai-nilai luhur dan orisinalitasnya semakin terdegradasi. Oleh sebab itu, bahwa tulisan ini akan membahas bagaimana warisan budaya dikelola dalam sistem kapitalisme, tantangan yang muncul akibat komodifikasi, serta solusi yang dapat diwujudkan demi menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dan pelestarian budaya.
Warisan Budaya dalam Sistem Kapitalisme
Dalam banyak kasus, pemerintah dan industri pariwisata berperan sebagai kelompok dominan yang menentukan bagaimana warisan budaya dikelola. Mereka cenderung lebih mengutamakan aspek yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, sementara aspek warisan budaya yang kurang menguntungkan bagi ekonomi sering kali diabaikan.
Sebagai contoh, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menerima dana segar pada tahun 2021 agar dapat meningkatkan citra daerah tersebut sebagai destinasi wisata budaya. Namun, penggunaan dana ini lebih bersifat seremonial---terlebih hanya untuk memperkuat branding wisata---tanpa benar-benar memperhatikan keberlanjutan dan pelestarian budaya yang sesungguhnya (Ristiawan, 2021).
Globalisasi memberikan dua implikasi bagi warisan budaya. Di satu sisi, peningkatan jumlah wisatawan membawa dampak positif bagi pengelola wisata budaya dan ekonomi lokal, namun di lain hal, warisan budaya menghadapi ancaman degradasi nilai akibat perilaku wisatawan yang tidak menghormati dan menghargai tempat-tempat sakral.
Dampak Over-Tourism terhadap Warisan Budaya
Komodifikasi warisan budaya sering kali menyebabkan over-tourism, yaitu kondisi di mana jumlah wisatawan yang berlebihan mengganggu keseimbangan sosial dan lingkungan. Di Bali, semisal, bagaimana berbagai pura yang digunakan untuk peribadatan terganggu oleh membludaknya wisatawan domestik dan mancanegara. Seperti yang terjadi di Pura Uluwatu, membludaknya wisatawan mengancam keasrian lingkungan setempat akibat perilaku wisatawan yang gemar membuang sampah sembarangan. Bahkan, beberapa kasus ekstrem menunjukkan bagaimana wisatawan asing berperilaku tidak pantas di tempat warisan budaya, seperti yang terjadi di Pura Besakih, di mana seorang wisatawan dari Korea melakukan pengrusakan benda pusaka karena mengaku mendapat "bisikan gaib," dan seorang wisatawan Rusia hanya mengenakan celana dalam saat mengunjungi pura tersebut (detik.com).
Oleh karena itu, perlu ada strategi yang jelas untuk menyelaraskan fungsi warisan budaya sebagai objek wisata demi surplus ekonomi pemerintah dan masyarakat dengan upaya pelestarian nilai-nilainya.