Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

INA-CBGs dalam JKN

26 Januari 2018   05:06 Diperbarui: 26 Januari 2018   05:55 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai sebuah sistem, INA-CBGs sebenarnya bukan barang baru. Dipersiapkan sejak 2006, sistem CBG (waktu itu disebut DRG) mulai diterapkan untuk Program Jamkesmas. Hanya waktu itu baru diterapkan pada Saudara-saudara kita yang kurang mampu, sekitar 32% penduduk, khusus di kelas 3, dan di RS pemerintah. Relatif tidak banyak keluhan, meski sebenarnya bukan tanpa masalah.

Ketika diterapkan ke JKN, program ini meliputi 40% penduduk di awal, dan terus berkembang sampai 72% penduduk sudah menjadi peserta saat ini. Bahkan pada tahun 2019, ditargetkan minimal mencakup 95%. Program ini juga diterapkan pada semua RS yang memenuhi syarat, di kelas 1, 2, 3 bahkan menyentuh kelas VIP. Banyak yang sudah mendapatkan manfaat dari Program JKN, dibandingkan era sebelum JKN. Banyak juga sisi positif untuk pelayanan kesehatan. Tetapi relatif banyak juga keluhan dan masalah yang timbul, apalagi di tahun pertama JKN. Meskipun sudah berkurang, tetapi sampai saat ini pun masih banyak masalah. Biasanya ditutup dengan bahasa halus "yah, namanya sosial, membantu yang kurang mampu". 

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Karena banyaknya keluhan dan masalah itu, kita seolah menjadi terpaku pada INA-CBGs sebagai penyebabnya. Padahal sekali lagi, sebagai sebuah sistem, itu bukan barang baru. Hanya tentu kita sadar bahwa ketika INA-CBGs digunakan untuk menyusun tarif JKN, maka setidaknya ada 2 hal awalnya: Costing dan Coding. Data Costing itu tentang berapa biaya pelayanan RS. Data Coding itu tentang bagaimana pengkodean grup-grup kasus atau diagnosis. Kemudian keduanya diramu menjadi suatu "tarif JKN".

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Untuk mendukungnya, maka tentu semakin banyak data costing, semakin variatif, semakin heterogen, maka hasil ramuannya akan makin representatif. Untuk itulah, RS didorong benar-benar menghitung Hospital Base Rate (HBR) yang menggambarkan secara akurat dan rasional biaya pelayanan kesehatan suatu kasus di RS. Salah satunya menggunakan konsep Activity-based Costing (ABC) sehingga setiap aktivitas terhitung biayanya. Tentu saja aktivitas yang dihitung ini berbasis pada Integrated Clinical Pathway sehingga efektif secara mutu dan efisien secara biaya. Ini merupakan harapan bersama dari Program JKN.

Sedangkan data coding akan makin "cerdas" bila berbasis kuat juga pada data-data kasus dalam rentang waktu cukup lama, di area cukup luas dan bervariasi, serta pada jumlah peserta atau pasien yang makin banyak. Maka setelah JKN berjalan 4 tahun, kita dorong agar dilakukan reklasifikasi dan regrouping agar logic thinking (alur pikir) kode dalam aplikasi INA-CBGs akan makin sensitif dan spesifik.

Begitupun ternyata, meski ramuan data costing dan coding sudah optimal, masih ada faktor berikutnya: kecukupan fiskal. Hasil perhitungan tarif, tetap harus mempertimbangkan kecukupan dan keberlangsungan program JKN (pasal 39 Perpres 19/2016). Sampai disini kembali ke soal komitmen dan prioritas. Ketika ruang fiskal ternyata belum cukup, maka tarif jadi tidak sesuai hasil perhitungan. Tapi ujung-ujungnya, sistem INA-CBGs nya yang dituding sebagai penyebabnya. Padahal masalahnya lebih pada "amunisi" nya, bukan sistem CBGs nya.

Bila memang disepakati bahwa ruang fiskal belum cukup, maka regulasi JKN sebenarnya memberi pilihan untuk ruang urun biaya secara terkendali: artinya tidak kemudian dilepas bebas. Sumber urun biaya bisa dari peserta sendiri, maupun melalui CoB dengan pemberi kerja atau asuransi kesehatan tambahan. Bahkan sebenarnya JKN juga mengamanahkan untuk menuju suatu kelas standar saja, sedang selebihnya, silakan melalui urun biaya.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Selanjutnya, bahkan seandainya soal fiskal "tidak masalah" lagi pun, setelah menjadi ketetapan tarif, masih ada faktor lain ketika diterapkan: INA-CBGs hanya satu sub-sistem dalam JKN. Penerapan tarif itu sendiri harus mengikuti kaidah verifikasi klaim (di samping soal kredensialing dan penetapan kelas Faskes). Simultan dengan proses kredensialing, masih harus juga ditunjang kelancaran akses ke obat dan alkes (dengan berbagai masalahnya). 

Ditambah lagi, variasi kapasitas manajerial dan SDM di Faskes-faskes khususnya di DPTK (Daerah Perbatasan, Terpencil dan Kepulauan). Untuk area-area tersebut, perlu dipertimbangkan adanya cara lain dalam pembayaran pembiayaan kesehatan. Prinsip tetap menuju INA-CBGs tetapi secara bertahap. Sementara itu perlu pengampuan dan pendampingan, termasuk digunakan cara lain seperti Global Budget atau bahkan Fee for service untuk beberap item pelayanan tertentu.

koleksi pribadi
koleksi pribadi
Jadi memperbaiki INA-CBGs itu mutlak selalu dilakukan karena tidak pernah mencapai sempurna, apalagi mengikuti perubahan yang juga dinamis. Ditunjang juga menjaga faktor-faktor pembentuknya dengan baik maupun sub-sistem lain dalam program JKN, agar menjadikan aman, nyaman dan tepat bagi semua pihak: peserta, penyedia, pendukung dan tentu saja pemerintah.

Mari!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun