Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kendali Mutu dan Kendali Biaya: Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan

19 Agustus 2016   11:32 Diperbarui: 19 Oktober 2016   15:42 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ditulis 26 November 2014)

Beberapa hari ini, ramai diberitakan tentang gratifikasi bagi dokter terkait layanan pemberian resep obat-obatan. Bahkan gratifikasi itu sampai ke soal “jasa seksual”. Tidak ada maksud tulisan ini untuk menegasikan atau membantah berita tersebut.  Tidak perlu dibantah bahwa fenomena itu ada. Sebaliknya, masih ada – dan saya yakin – bahkan tidak sedikit dokter yang tetap berpegang pada idealisme. Hal ini juga diakui dalam salah satu pemberitaan

 Catatan ini lebih mengajak untuk melangkah ke depan. Dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berjalan sejak 1 Januari 2014, diterapkan prinsip Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Prinsip ini sesuai dengan pasal 24 UU SJSN (no 40/2004) yang menjadi dasar diterapkannya JKN. Bahkan secara eksplisit, hal itu sudah diatur dalam Pasal 49 UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Arah dari pengendalian itu adalah: mendapatkan pelayanan bermutu dengan biaya yang efisien.

Regulasi tentang Teknis Pelayanan Kesehatan di era JKN (Permenkes 71/2013) mengatur perihal kendali mutu dan kendali biaya ini pada Bab VI pasal 33-38. Menjadi bab tersendiri, menunjukkan pentingnya pengendalian tersebut. Untuk menerapkannya, Menkes memiliki wewenang untuk (pasal 33):

a. penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);

b. pertimbangan klinis (clinical advisory);

c. penghitungan standar tarif;

d. monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan.  

Melalui keharusan HTA (pasal 34), diharapkan tidak sembarangan para dokter menentukan atau memilih alat kesehatan yang akan dipergunakan dalam pelayanan. Di samping obat, proses pengadaan terkait barang ini juga diberitakan sebagai “obyek gratifikasi” bagi dokter. Usulan dan penilaian pemilihan harus melibatkan fasilitas kesehatan, organisasi profesi dan BPJS Kesehatan.  Tentu harapannya, tidak ada monopoli akses dan keputusan di para pihak. 

Direktur di RS maupun pejabat di Kemkes, diharuskan mendasarkan pada hasil penilaian HTA ini. Aspek cakupan pertimbangannya berangkat dari prinsip evidence-based medicine, kemudian dipadukan dengan aspek utilization review, segmentasi pasien maupun renstra RS. Dokter sebagai user dalam pelayanan, memiliki kelebihan pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan seorang Ahli Elektromedis (dan Teknis Perumahsakitan) memiliki kelebihan dalam hal aspek teknis dan komparasi antar alat. Di sisi lain, manajemen memiliki wawasan lebih terkait utilization review dan segmentasi pengguna. Juga Kementerian Kesehatan memiliki pertimbangan dalam hal optimalisasi dan pemerataan akses pelayanan.

Di tingkat RS, ada Tim HTA di bawah direktur. Sedangkan Tim HTA secara nasional, dibentuk oleh Menkes. Kepada Menkes, Tim HTA nasional memberikan hasil penilaian terhadap pelayanan kesehatan yang dikategorikan dalam teknologi baru, metode baru, obat baru, keahlian khusus, dan pelayanan kesehatan lain dengan biaya tinggi. Selanjutnya merekomendasikan apakah sebaiknya masuk dalam cakupan jaminan kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun