Mohon tunggu...
Ton Abdillah
Ton Abdillah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Lepas

Pemerhati isu sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Tembakau Biang Keladi Seluruh Masalah di Muka Bumi [Bag 3]

30 Mei 2022   13:31 Diperbarui: 30 Mei 2022   13:33 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Direktur Asia Pacific The Union Tara Singh Bam dalam Webinar Adinkes April 2022

Mendorong Regulasi untuk Memenangkan Kompetisi

Dari sini modus ketiga untuk mendorong regulasi antitembakau diperlukan. Sejatinya, dorongan regulasi antitembakau tak hanya terkait produk farmasi. Sudah sejak lama kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, diintervensi, misalnya melalui penerbitan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang didorong oleh Asosiasi Dinas Kesehatan Indonesia (ADINKES) melalui pendanaan The Union. Merunut lebih jauh, bahkan Vital Strategies, entitas komersial The Union, dalam laporan resminya mengaku berkontribusi atas terbitnya Perda KTR di Pemda Bogor dan Ambon. Namun baru belakangan ini saja kelompok antitembakau secara vulgar mendorong regulasi antirokok dengan kepentingan komersial atas produk farmasi. Sebab selama ini kerja sama atau hibah dari kelompok antitembakau selalu mengandalkan narasi populis dengan menggunakan tajuk seperti polusi udara, kesehatan publik, bahaya merokok pada anak.

Hal tersebut terungkap saat Webinar Adinkes yang didukung oleh The Union bertajuk Investasi pada Pengendalian Tembakau untuk Mengakhiri Tuberkulosis (TBC). Tak hanya penyakit kardiovaskular, rokok dinilai kelompok antitembakau menjadi biang keladi penyakit TBC. Padahal, dalam paparannya di webinar tersebut, Tara Singh Bam, yang mengutip riset WHO, menyatakan bahwa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berisiko menderita TBC 18 kali lipat, konsumsi alkohol memiliki risiko 3,3 kali lipat, gizi buruk 3,2 kali lipat. Sementara itu, peningkatan resiko rokok terhadap TBC hanya sebesar 1,6 kali.

Namun dalam simpulan paparannya, Bam serta-merta mengintergasikan penanggulangan TBC dengan kebijakan kontrol tembakau. 

“Ada kebutuhan mendesak untuk menyusun paket komprehensif pengendalian tembakau dalam program penanggulangan TBC. Upaya berhenti merokok harus menjadi bagian yang terintegrasi terhadap pendidikan terhadap TBC dalam layanan penanggulangannya. Sebagai tambahan dalam aksi singkat, nikotin farmasi dapat ditambahkan dalam layanan paket lengkap dalam layanan terhadap orang dengan TBC,” ungkapnya.


Nyatanya saran ini cukup strategis untuk mendorong serapan global produk farmasi. Sebab pertama, alih-alih melempar ke pasar bebas (konsumen), serapan pasar kini dapat didorong melalui penyerapan anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kedua, Indonesia merupakan penyumbang pengidap TBC ketiga terbanyak di dunia setelah Tiongkok dan India dengan 824 ribu jiwa terinfeksi per tahun, serta angka kematian 93 ribu per tahun. Ketiga, TBC menjadi isu kesehatan yang paling tepat karena infrastruktur regulasi yang mendukung.

Sebagai catatan, akhir tahun lalu, ADINKES telah mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengusulkan penambahan empat nomenklatur baru (TBC, Malaria, AIDS, KTR) dalam sistem penganggaran pemerintah daerah. Sebelumnya, empat sektor tersebut diklasifikasikan sebagai penanganan penyakit menular dan tidak menular. Meski belum resmi diubah, perwakilan Kemendagri yang hadir dalam webinar tersebut telah mengafirmasi empat nomenklatur baru tersebut telah masuk dalam Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD).

Artinya, pemerintah daerah kini bisa menganggarkan kebutuhan produk nikotin farmasi melalui APBD terkait integrasi pengendalian tembakau dengan penanggulangan TBC yang terakumulasi dalam program Upaya Berhenti Merokok (UBM) oleh puskesmas-puskesmas. Apalagi, Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan dan Pembangunan (Rakortekrenbang) Kemendagri telah menetapkan target layanan UBM yang harus mencapai 40% pada 2023. Dengan skema ini maka, penyerapan produk farmasi secara global berpotensi akan tumbuh sangat tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun