Mohon tunggu...
Tomy Zulfikar
Tomy Zulfikar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Mikro Pilihan

Analisis Kebijakan Cukai Rokok

21 Mei 2018   11:02 Diperbarui: 21 Mei 2018   11:55 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Konsumsi rokok dapat menyebabkan permasalahan serius bagi kesehatan masyarakat. Kandungan rokok terdiri dari banyak banyak bahan yang membahayakan kesehatan, terutama tiga macam yaitu: (1) nikotin dapat menyebabkan kecanduan dan serangan pada otak seperti stroke atau seranga jantung, dan juga bisa mempengaruhi pembuluh darah perfier di ujung tungkai, (2) Tar merupakan penyebab utama kanker, dan (3) karbon monoksida yang mengambil oksigen dari hemoglobin yang membuat orang sesak napas, serangan jantung atau serangan otak.

Berdasarkan hasil penelitian dari Journal of the American Medical Association, jumlah perokok di seluruh dunia meningkat menjadi hampir satu miliar orang dan di sejumlah negara termasuk Indonesia dan Rusia lebih dari separuh jumlah penduduk laki-laki merokok setiap hari. 

Mereka mengatakan peningkatan jumlah perokok terjadi karena adanya peningkatan jumlah penduduk yang meningkat dua kali lipat selama 50 tahun terakhir. Mereka memperkirakan bahwa jumlah perokok di seluruh dunia meningkat hampir 250 juta orang antara 1980 hingga 2012.

Di Indonesia, setiap tahun lebih dari 400.000 orang meninggal dunia karena berbagai penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok; atau sekitar 2.000 orang setiap hari menurut World Health Organization (WHO). Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan kenaikan jumlah perokok yang terus bertambah dari tahun ke tahun.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi rokok per kapita tertinggi di ASEAN. Menurut data Tobaccoatlas.org yang ditunjukkan pada Figure 1, konsumsi rokok masyarakat Indonesia usia 15 tahun ke atas pada 2014 mencapai 1.322,3 batang per kapita per tahun. 

Di peringkat kedua ditempati oleh Filipina dengan konsumsi sebesar 1.291,08 batang per kapita per tahun. Di peringkat ketiga diduduki oleh Vietnam dengan konsumsi sebesar 1.215,3 batang per kapita per tahun.

Rendahnya kesadaran kesehatan masyarakat terhadap bahaya merokok serta kebiasaan menikmati asap tembakau sejak usia dini membuat konsumsi rokok di Indonesia cukup tinggi. Bahkan di kalangan masyarakat tertentu rela mengurangi anggaran belanja rumah tangganya agar supaya bisa menikmati asap tembakau.

tobaccooatlas.org
tobaccooatlas.org
Distribusi pengeluaran rumah tangga termiskin pada 2011 tercatat bahwa pengeluaran untuk rokok lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran penting seperti pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, telur, susu, dan daging. 

Pada Figure 2 terlihat bahwa pengeluaran untuk rokok sebesar 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk telur dan susu, 6,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk biaya pendidikan, 6,5 lebih tinggi dibandingkan dengan biaya kesehata, 9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk daging.

survei kesehatan nasional
survei kesehatan nasional
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 bahwa rumah tangga di Indonesia yang terpapar asap rokok sebesar 85 persen, estimasinya adalah delapan perokok meninggal karena perokok aktif, satu perokok pasif meninggal karena terpapar asap rokok orang lain. Berdasarkan perhitungan rasio ini maka sedikitnya 25.000 kematian di Indonesia terjadi dikarenakan asap rokok orang lain.

Oleh karena itu, rokok yang merupakan sebagai private goods memiliki negative externality yang besar, yaitu permasalahan serius bagi kesehatan masyarakat, seharusnya pemerintah dapat mengendalikan produksinya. 

Adapun, berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, alokasi dana kesehatan dari cukai rokok yang tercatat sebesar Rp17 triliun pada 2016 atau terus mengalami kenaikan dari hanya sebesar Rp11,2 triliun pada 2014, sepertinya tidak sebanding dengan kerugian risiko kesehatan yang diterima oleh masyarakat, sebagai social value lebih rendah dibandingkan dengan private value.

Metode dan Hasil Penelitian

Artikel ini menjelaskan berdasarkan secondary data yang telah dirilis oleh berbagai lembaga atau instansi setiap tahunnya seperti Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Keuangan untuk data statistik konsumsi dan produksi rokok domestik dan tarif cukai rokok sepanjang periode 2013-16.

Agar supaya dapat menguji secara objektif, maka pengujian dilakukan dengan menganalisa hubungan antara supply dan demand rokok domestik. Untuk mengetahuinya, data yang digunakan ialah konsumsi dan produksi rokok domestik, tingkat inflasi makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, dan pendapatan dari cukai rokok yang dapat dilihat pada Table 1.

dok.pri
dok.pri
Dari data tersebut, diketahui elasticity of demand sebesar 0,26 (inelastic demand) dan elasticity of supply sebesar 0,12 (inelastic supply), demikian dapat ditentukan fungsi persamaan demand dan supply rokok domestik seperti berikut:

dokpri
dokpri
Seperti diketahui, Qmarket sebesar 315,6 miliar batang rokok per tahun dan Pmarket sebesar rata-rata 1.000 per batang  rokok pada 2016. Agar supaya market equilibrium dapat mendekati atau berada pada kondisi social optimum, maka Pemerintah harus menaikkan tarif cukai rokok.

Jika Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, maka konsumsi rokok akan berkurang. Pada Table 2 menjelaskan hasil skenario dari kenaikan tarif cukai rokok domestik. Jika Pemerintah ingin menurunkan konsumsi rokok menjadi sebesar 252,8 miliar batang rokok per tahun atau turun sebesar 20 persen, maka Pemerintah harus menaikkan tarif cukai sebesar 2.175 persen menjadi sebesar Rp10.240 per batang. 

Namun demikian, pendapatan cukai akan meyusut menjadi sebesar Rp2,6 triliun dari pendapatan cukai pada 2016 yaitu sebesar 141,7 triliun atau kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa minyak dan gas yakni sebesar 5,19 persen berdasarkan Infodatin. Adapun, jika Pemerintah benar-benar ingin menghilangkan konsumsi rokok, maka Pemerintah harus menaikkan tarif cukai sebesar 2.878 persen menjadi sebesar Rp13.400 per batang.

dokpri
dokpri
Kesimpulan

Rendahnya kesadaran kesehatan masyarakat terhadap bahaya merokok serta kebiasaan menikmati asap tembakau sejak usia dini membuat konsumsi rokok di Indonesia cukup tinggi. 

Oleh sebab itu, agar supaya market equilibrium dapat mendekati atau berada pada kondisi social optimum, maka Pemerintah harus menaikkan tarif cukai rokok. Jika Pemerintah benar-benar ingin menghilangkan konsumsi rokok, maka Pemerintah harus menaikkan tarif cukai sebesar 2.878 persen menjadi sebesar Rp13.400 per batang.

Selain itu, alternatif kebijakan lain agar supaya mampu menurunkan konsumsi rokok, seperti: (1) memperluas dan memperbanyak Kawasan Tanpa Rokok (KTR); (2) gencar melakukan edukasi bahaya rokok ke berbagai instansi, perusahaan, sekolah, dan rumah tangga; (3) pengaturan iklan rokok, (4) pmemberian insentif kepada penjual rokok agar berhenti; dan (5) tersedianya pelayanan kesehatan untuk membantu orang yang ingin berhenti merokok.

Namun demikian, jika Pemerintah ingin menurunkan konsumsi rokok secara signifikan, maka akan timbul beberapa permasalahan baru, seperti: (1) kontribusi pendapatan cukai akan menurun; dan (2) peningkatan pada tingkat pengangguran struktural yang masif.

Pekerjaan Rumah Pemerintah selanjutnya akibat kebijakan tersebut ialah harus mampu mengakomodasi berbagai risiko tersebut dengan cepat dan responsif, misalkan seperti:

(1) mempersiapkan pelatihan kerja untuk tenaga kerja di industri rokok dan industry yang terkait agar supaya lebih terampil dan dapat pindah kerja dengan mudah ke industiri lain; 

(2) mencari tumbuhan lain yang memiliki nilai tambah dan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan opportunity cost sebelumnya untuk lahan pasca pengalihan produksi tumbuhan tembakau; 

(3) men-subtitusi-kan pendapatan yang turun dari cukai rokok ke industri lain yang telah diberikan nilai tambah yang maksimal agar supaya mampu tumbuh lebih cepat dan terjadi peningkatan pendapatan yang pesat; dan 

(4) pemberian insentif pajak untuk investor atau pengusaha di industri rokok jika mereka ingin pindah ke bisnis lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Mikro Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun