Mohon tunggu...
tomy sujarwadi
tomy sujarwadi Mohon Tunggu... Penulis - jendela dunia

Menulis dan mengajar terutama tentang korupsi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

2019 Jokowi "Mati"

22 Maret 2019   13:56 Diperbarui: 22 Maret 2019   14:12 2207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengerikan sekali judulnya. Apakah tidak ada yang lebih baik. Mengapa diambil judul tersebut, karena memang sulit  menjabarkan dengan kata-kata yang lebih sederhana. Lalu apa sih, maksudnya dengan 2019 Jokowi Mati.

Perhelatan pilpres pada tanggal 17 April 2019 yang akan datang, menjadi perhelatan yang menguras emosi rakyat terlebih emosi di lingkungan istana. Survei-survei yang dihasilkan oleh lembaga survei yang diragukan kenetralannya membuat lembaga survei saat ini tidak menjadi acuan masyarakat dalam menentukan pilihan calon presiden.

Berbagai blunder yan dilakukan oleh pertahana dalam menyampaikan isu maupun kebijakan, menjadi duri dalam daging. Masyarakat mulai jenuh dengan kebijakan yang selalu mengeplolisasi tentang infrastruktur terutama pembangunan jalan tol justru menjadi  titik bali kekecewaan dan kemarahan masyarakat di perdesaaan terutama yang berada di luar pulau jawa. Disamping itu, isu-isu tentang hoax yang selalu dibangun oleh kubu pertahana, justru membuat masyarakat muak. Hal ini dapat diketahui dari jawaban-jawaban netizen yang memukul hoax dengan data yang akurat.

Yang menjadi permasalahan bangsa Indonesia ini adalah masalah ekonomi yang masih dirasakan oleh sebagian besar rakyat. Salah satu sorotan lemahya ekonomi di Indonesia adalah tentang korupsi. Pemerintahan Jokowi-JK di saat Pilpres 2014 mengusung salah satu program nawacitanya tentang membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi dan reformasi kelembagaan penegakkan Hukum. Akan tetapi, lagi-lagi ini hanya menjadi produk teoritis semata yang sangat jauh dari kenyataan di lapangan. Keberpihakan pada pemberantasan korupsi tidak muncul dalam pemerintahan Jokowi-JK menjabat.

Kontroversinya diantaranya adalah pengangkatan sejumlah pejabat negara semacam Budi Gunawan menjadi Kapolri yang sempat memicu heboh terkait dugaan memiliki "rekening gendut". Catatan buruk lainnya yaitu terkait janji memprioritaskan penanganan korupsi di sektor penegakan hukum, politik, pajak, bea cukai dan industri sumber daya alam. Akan tetapi, penangkapan Patrice Rio Capella dalam kasus dugaan suap membuktikan jika belum ada prioritas menegakkan sistem pemerintahan bersih di Indonesia.

Demikian juga kasus suap Gatot ke PTUN Medan yang menunjukkan kelemahan penegakan hukum di Indonesia untuk bebas dari korupsi. Yang lagi trend saat ini adalah kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Politik, menambah parahnya penyakit korupsi saat ini.

Akan tetapi yang tidak kalah penting tindak korupsi yang dilakukan rejim ialah penyelewengan kekuasaan dengan melahirkan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dan di sisi lain memberikan keuntungan yang besar bagi negara-negaras asing (imperialisme). Pencurian subsidi rakyat yang dialihkan ke sektor infrastruktur serta berbagai kebijakan Neo-liberalisme yang membuat rakyat semakin menderita dan miskin. Kebijakan yang saat ini lagi trend adalah yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo) yang melakukan apel kebangsaan yang konon biayanya menelan 18 Milyar. Ini sungguh menyakiti hati rakyat, berbeda dengan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk korban bencana di Papua.

Itulah penyakit korupsi yang mengakar kuat dalam sistem pemerintahan saat ini. Mulai dari pemerintah daerah hingga pusat, korupsi menjadi rantai yang tidak putus-putusnya. Mencuri APBN/APBD, mengambil keuntungan dari proyek, meloloskan ijin usaha, suap-menyuap, melindungi penguasa asing dan tuan tanah, menjadi gambaran umum tindak-tindak korupsi yang dijalankan di Indonesia.

Berbagai usaha yang dijalankan dari kepemimpinan yang satu ke yang lain, tetap saja korupsi tidak dapat diatasi. Malah, ancaman korupsi di era Jokowi-JK semakin nyata menjamur. Inilah menjadi bukti bahwa korupsi adalah penyakit yang akan selalu dilanggengkan sistem pemerintahan yang hanya melayani kepentingan pengusaha, tuan tanah besar, asing untuk berguna memperkaya diri sendiri, keluarga dan kroni-kroninya

Sementara menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, koruptor di Indonesia masih diistimewakan sehingga tak berbekas efek jera. karena mantan terpidana pun masih banyak yang berpartisipasi dalam proses politik. Menurut Emerson, Negara ini enak betul, terpidana kasus korupsi bisa ikut Pileg dan Pilkada. Ini dampak tidak dicabut hak politik. Selain itu, keluarga dan korporasi dari pelaku korupsi pun semestinya ikut dijerat. Sebab, diduga ada jejak jejak korupsi yang diterima oleh pihak lain, selain yang dinikmati pelaku secara pribadi.

Kasus tertangkapnya Ketua Umum PPP menambah panjangnya cerita ketidakpercayaan masyarakat akan bersihnya orang-orang di sekitar Jokowi. Slogan "Bersih, merakyat dan Kerja Nyata". Satu persatu ramai di media sosial tentang kasus-kasus yang menimpa orang di sekeliling jokowi. Hal ini tentu membuat rakyat tidak percaya dengan pemerintah yang ada, sehingga tidak heran kalau elektabilitas Jokowi menjelang pilpres rendah, bahkan menurut survei Litbang Kompas elektabilitas pertahana di bawah 50%. Ini berita yang sangat mengejutkan bagi pendukung pertahana. Dan mereka pun membalas bahwa survei tersebut tidak valid, bagi penulis itu, sah-sah saja. Karena bisa jadi metodeloginya dalam melakukan survei berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun