Mohon tunggu...
TOMY PERUCHO
TOMY PERUCHO Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Perbankan, berkeluarga dan memiliki 2 orang anak.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Agama : Islam. Pengalaman kerja : 1994-2020 di Perbankan. Aktif menulis di dalam perusahaan dan aktif mengajar (trainer di internal perusahaan) dan di kampus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Hal-hal yang Palsu

30 Juni 2020   21:00 Diperbarui: 30 Juni 2020   22:06 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di era modern dengan perkembangan teknologi yang demikian canggih saat ini, rasanya kita semakin sulit menemukan sesuatu yang asli. 

Dimana2... kita temukan banyak hal2 yang artifisial/palsu, tidak saja produk2 palsu tetapi sampai emas palsu, uang palsu, dokumen palsu, alamat palsu, kesaksian palsu, sumpah palsu, janji palsu, dll. Sampai2 untuk memperbaiki dan menunjang penampilan seseorang atau untuk membantu keterbatasan fisik, kita pun tidak luput hal2 yang palsu i.e mata palsu, rambut palsu, bulu mata palsu, hidung palsu, tangan palsu dan kaki palsu, bahkan gigi pun palsu.

Sebagaimana kita ketahui bahwa palsu-memalsu, bajak membajak karya dan hak cipta merupakan tindak kejahatan / criminal dan dapat dikenakan sanksi pidana atas pelakunya. Kata "palsu" itu sendiri mengandung arti semu atau tidak asli, yaitu produk tiruan dari hasil meniru dan tentunya tidak sama dengan sumber aslinya. Sesuatu yang palsu seringkali menjebak dan menipu kita, karena dikemas dan ditampilkan sedemikian rupa sehingga menyerupai aslinya.

Mencermati kondisi yang memprihatinkan saat ini dengan begitu sering dan banyaknya kasus fraud / korupsi di berbagai bidang di negara yang kita cintai ini, memberikan gambaran kita seolah terkepung di tengah2 kepalsuan. Lho mengapa demikian?

Pada banyak kasus korupsi/fraud, istilah palsu-memalsu dan kepalsuan merupakan hal yang populer dan akrab sekali dengan pelakunya, seperti : rambut palsu, kumis palsu, wajah palsu, dokumen palsu, sumpah palsu, janji2 palsu, kesaksian palsu, bukti palsu, informasi palsu, alamat palsu, dll hingga sikap dan perilakunya pun palsu! Kita pun seringkali tertipu dengan kepalsuan yang ditampilkan para fraudster melalui sikap dan penampilan yang menarik. Dan bila kita tidak berhati2 menjaga diri dan mawas diri bukan tidak mungkin diri kita pun dapat terkontaminasi oleh hal2 yang palsu tadi !

Artikel ini menyoroti bahwa mengapa para fraudster senang berkecimpung dalam kepalsuan yang notabene mereka mengejar kesuksesan semu atau palsu, sementara hal2 yang sifatnya palsu hanyalah sementara saja, yang cepat atau lambat pada akhirnya akan terungkap juga. Dan pada akhir kisahnya, si pelaku ketika akan menerima ganjaran hukuman "baru sadar" dan menyatakan "menyesal" dengan apa yang mereka lakukan.

Manusia "Instan"

Pada dasarnya, para pelaku fraud termasuk golongan orang2 atau Manusia INSTAN, mereka ingin sukses secepat kilat tanpa perlu kerja keras melalui proses. Ambisi/keinginan yang  tidak terkendali ditambah pengaruh lingkungan yang kuat melambungkan angan2 dan mimpi2 mereka... mendorong mereka menjadi panjang angan2 (PA) tetapi pendek akal (PA), sehingga mereka pun menempuh cara2 INSTAN, potong kompas, dll untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan.

Pada orang2 instan tadi, prinsip serta cara instan yang mereka lakukan mengandung 3 "prinsip utama" ala mereka, yaitu : Nekat, Berani Malu dan Mengerjakan hal2 yang tidak lazim dikerjakan oleh orang2 normal pada umumnya. 

Nekat, artinya untuk melakukannya seseorang memerlukan keberanian extra... ia sebetulnya tau tapi pura2 tidak tahu dengan berani melanggar aturan, seolah ia sudah siap menerima segala konsekuensinya. Selain itu nekat memberi arti spekulatif... untung2an, cara berpikirnya bagaimana nanti, bukan nanti bagaimana. 

Berani Malu, artinya bagi orang2 normal akan merasa malu bila ia melakukan hal2 yang melanggar dan tidak sesuai dengan aturan, tatanan dan etika yang berlaku.Tidak demikian bagi orang instan tadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun