Mohon tunggu...
Tommy TRD
Tommy TRD Mohon Tunggu... Penulis - Just a Writer...

Jumpa juga di @tommytrd

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bersama Menghilangkan ISI

21 Januari 2019   14:38 Diperbarui: 21 Januari 2019   14:38 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya selalu membayangkan bagaimana dulu para founding fathers mendirikan bangsa yang besar ini. Bukan bagaimana mereka menghabiskan sore mereka atau menikmati masa libur. Tapi membayangkan seberapa besar dan luas ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki dalam keadaan terjajah. Mengerikan bagaimana mereka bisa berpikir begitu luas sekaligus begitu detail tanpa sarana dan prasarana yang lengkap seperti yang ada saat ini.

Beberapa bulan mendatang proses suksesi kepemimpinan nasional akan berlangsung. Beberapa hari yang lalu salah satu fase sudah dilewati, debat pasangan Capres dan Cawapres. Sedikit saya merasa terpukul. Berharap debat itu akan seperti debat yang dilakukan oleh Soekarno dan Hatta, tapi jauh panggang dari api. Saya banyak mendengar cerita dan membaca beberapa artikel yang menceritakan bagaimana kerasnya Soekarno, Hatta, Sjharir dan Agus Salim ketika berdebat, tanpa kehilangan isi dari debat itu sendiri, tanpa kehilangan santunan.

Mereka yang berasal dari bangsa yang kecil (bangsa terjajah), mampu menarasikan hal-hal yang besar. Jauh melebihi zamannya. Sedikit, kecil, tapi berisi. Lihatlah kita sekarang. Rakyat Indonesia sebagai pemilih hak atas demokrasi itu, malah memperdebatkan perkara joget, perkara pijit pada debat yang diikuti oleh sosok-sosok yang akan menjadi pemimpin Indonesia di masa yang akan datang. Perdebatan mengenai hal remeh temeh yang seharusnya sekedar fun saja, berubah menjadi adu kuat urat leher, atau adu kuat memencet keypad untuk menghujat atau membalas di media sosial. Mereka lupa, bahwa ada hal-hal yang lebih besar untuk bangsa yang besar ini.

Mungkin ada benarnya bahwa kita lebih butuh literasi daripada kotak suara. Masalahnya adalah mana yang lebih dulu. Ini akan menjadi seperti kasus mana yang lebih dulu ayam daripada telur ? Mana yang lebih prioritas literasi atau kotak suara ? Kaum pendidik akan mengatakan literasi dibutuhkan lebih dulu, namun politisi mungkin akan memilih berbeda.

Menjaga orang lain untuk tetap kekurangan literasi adalah salah satu cara untuk bertahan menjadi yang paling pintar, paling tahu. Dengan begitu apa yang tengah dipegang saat ini bisa dipertahankan. Apakah itu jabatan, kekuasaan, kekayaan atau sumber kekayaan. Tanpa perlu berbagi.

Media pun yang salah satu tujuannya mencerdaskan kehidupan berbangsa malah ikut dalam peran saling menghilangkan isi ini. Media membuat berita dengan judul fantastis, yang berbanding terbalik dengan isinya. Biasanya awal berita itu akan dimulai dengan kata "Terungkap", kemudian disusul dengan kalimat yang entah isinya apa. Misal, "Terungkap, pejabat tinggi itu hobi makan kerupuk, walaupun dana makan minumnya cukup untuk di hotel bintang 5".

Lainnya, "Terungkap, Presiden ABC ternyata senang belanja di grosiran dibanding mall mahal". Masalahnya adalah, apa urgensinya berita itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ? Dari sekian banyak tema yang lebih besar, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, lalu kita membahas kerupuk dan beli sarung di grosiran ?

Politisi, menghebohkan masalah istri, kemampuan menjadi Imam,  menyerang partai politik, kemudian mempertanyakan dasar hukum yang dia tanda tangani sendiri. Lalu terbelit dengan kata-katanya sendiri.

Lalu kemana generasi penerus ini akan pergi untuk mendapatkan literasi berkualitas ? Yang akan merangsang pola pikirnya untuk kritis dan solutif ? Apakah dengan berita sarung itu kemudian akan lahir penemuan sarung yang bisa dibuat dari 1 lembar benang saja ? Sementara itu pustaka sudah berimbang ketebalan debu mejanya dengan buku paling tipis yang ada di sana.

Mari kita kembalikan sebuah pola pikir luas yang dulu dimiliki oleh para pendiri-pendiri, penanam tonggak-tonggak raksasa negeri ini. Dan sebagai catatan, mereka tidak membahas sarung, mereka tidak membahas tukang cukur, mereka tidak membahas baju 150 ribuan. Tapi mereka berbicara bagaimana bangsa ini bisa menjadi besar, bagaimana bangsa ini mengambil peran penting dalam pergaulan dunia internasional.  Karena jika tidak, entah apa lagi yang tersisa dari bangsa ini ke depan, jika sebuah pemikiran jernih pun sudah sulit untuk didapat.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun