Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Garis Kemiskinan BPS Gak Masuk Akal?

7 Mei 2025   13:30 Diperbarui: 8 Mei 2025   08:27 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keluarga miskin di Indonesia | Foto: ChatGPT

Bagaimana sih BPS Menghitung Garis Kemiskinan (GK)?

Garis Kemiskinan (GK) yang dihitung oleh BPS adalah nilai moneter dari kebutuhan paling dasar seorang manusia untuk dapat menjalankan fungsi biologisnya--yakni untuk bertahan hidup dan tetap produktif. Konsensus global (FAO), telah menetapkan bahwa manusia membutuhkan setidaknya 2.100 kilokalori per hari agar dapat hidup sehat dan produktif.

Kalori sebesar itu kemudian "diuangkan" berdasarkan jenis makanan yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia. Lalu ditambah kebutuhan nonmakanan yang esensial--seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan--ikut dihitung. Hasilnya, diperoleh angka GK dalam satuan rupiah seperti yang ditampilkan dalam berbagai grafik resmi, termasuk yang dimuat oleh Kompas beberapa waktu lalu.

Lalu, timbul pertanyaan: Mengapa GK antarprovinsi bisa berbeda-beda? Mengapa tidak diseragamkan saja?

Jawabannya terletak pada perbedaan pola konsumsi, harga barang, dan kondisi geografis di setiap daerah. Misalnya, di Provinsi A, masyarakat memenuhi kebutuhan sejumlah kalori dari nasi, sedangkan di Provinsi B, masyarakat lebih mengandalkan ubi. Kalori yang sama bisa dihasilkan dari bahan makanan yang berbeda, dan tentu saja, harga beras dan ubi bisa sangat berbeda, bukan? Bahkan, sesama beras saja, harganya bisa berbeda antar wilayah. 

Oleh sebab itu, dengan segala keunikan pola konsumsi, disparitas harga, kultur dll, untuk mendapatkan sejumlah kalori yang sama kadang dibayar dengan nilai rupiah yang berbeda antardaerah. 

GK antardaerah yang bervariasi merupakan cermin dari realitas lokal yang tentunya memberikan informasi berguna bagi pemerintah dalam merumuskan skala prioritas dan menentukan kebijakan yang tepat. 

Jika hanya dibuat satu angka GK nasional yang seragam, maka akan sulit bagi pemerintah mendeteksi wilayah mana yang benar-benar mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, lebih-lebih untuk merancang intervensi yang tepat. Sekali lagi, GK yang disusun untuk setiap provinsi, memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat bagi perumus kebijakan.

Lantas, muncul lagi pertanyaan dari netizen: Apakah GK Nasional Rp566 ribu per bulan itu cukup? Banyak netizen yang membaginya dengan 30 hari sehingga menjadi sekitar Rp19 ribu per hari. 

"BPS bercanda ya? Masa orang dengan pengeluaran 19 ribu per hari dibilang tidak miskin? Kocak"

Penting dipahami bahwa GK tersebut adalah GK per orang per bulan, tanpa membedakan usia atau gender. Namun dalam praktiknya, konteks yang lebih relevan digunakan adalah GK rumah tangga, karena masyarakat umumnya mengelola pengeluaran secara kolektif dalam rumah tangga. Dan sebagai informasi, rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin di Indonesia adalah sekitar 4,71 orang. Jika kita kalikan Rp566 ribu dengan 4,71, maka kita akan mendapatkan GK rumah tangga sekitar Rp2,66 juta per bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun