Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhurrozi
Muhammad Fatkhurrozi Mohon Tunggu... Insinyur - fantashiru fil ardh

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menimbang Patimban

27 Desember 2020   07:08 Diperbarui: 27 Desember 2020   07:56 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO - Raisan Al Farisi

Pelabuhan Patimban, yang digaungkan sebagai langkah untuk meningkatkan daya saing ternyata tidak sepenuhnya berangkat dari visi kemandirian bangsa. Beragam kepentingan asing seringkali bermain. Pada gilirannya, banyak ide dan inovasi anak bangsa malah terpinggirkan.

Kita pernah punya ide untuk membikin sendiri mobil nasional, termasuk juga mobil listrik. Namun ternyata dukungan yang datang tidak begitu meriah. Padahal kita sudah lama punya kementerian riset dan teknologi, dan pemimpin yang beretorika soal kemandirian teknologi. Tidak hanya soal mobil listrik, kasus yang sama juga terjadi pada sepeda motor listrik. Jika investasi asing –dalam hal ini otomotif- terus diberi karpet merah, maka kita memang pantas pesimis. Tidak ada yang bisa diharapkan dari usaha anak bangsa untuk menggarap mobil nasional.

Industrialisasi di atas kaki sendiri adalah fardhu bagi negara yang ingin maju. Hasil tambang, hasil hutan dan kebun kita tidak bisa terus-terusan kita ekspor murah. Kita mesti olah, supaya bernilai tambah.

Kita juga bermimpi punya kota-kota yang smart, dengan jalanan yang dipenuhi angkutan umum dan pejalan kaki. Negara maju, memang dinilai dari seberapa banyak pejabatnya (yang tentu juga diikuti rakyatnya) yang naik kereta komuter, MRT, atau busway. 

Jika soal populasi mobil pribadi di dalam negeri saja sudah disetir oleh asing, maka mimpi kota pintar tersebut akan terus jadi sekedar mimpi. Kemacetan di kota-kota besar, yang tiap tahunnya merugikan triliunan rupiah, akan terus menjadi pemandangan umum. Dalam soal ini, tidak ada yang bisa berbuat banyak, baik presiden, gubernur atau walikota.

 ---

Kita mesti insyafi, bahwa ada problem yang serius yang menuntut diselesaikan terlebih dahulu sebelum kita bermimpi membangun negara maju. Kita ingin membangun jalan tol dan pelabuhan dengan cepat, namun masalah perburuan rente memang sudah sistemis. 

Mantan Menko Ekuin, Rizal Ramli, menyorot bahwa pembangunan infrastruktur yang jor-joran di era Jokowi menimbulkan tiga trauma, yakni: yaitu oversupply, overprice, dan overborrow. Rizal Ramli menengarai bahwa banyak terjadi mark-up pada proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN. Angkanya cukup ngeri-ngeri sedap, bisa sekitar 30 sampai 50 persen[24]. Beliau juga menengarai bahwa sejumlah proyek tidak direncanakan dengan baik sehingga costnya sangat besar dan tidak ekonomis. Menurutnya, pembangunan dilakukan hanya karena perintah presiden atau 'dawuh Pandito Ratu'[25].

Majalah The Economist, dalam kolomnya  pada edisi 17 Oktober 2020 lalu, menyebut bahwa Indonesia tengah menghadapi kemunduran reformasi. Di bawah presiden hari ini, beragam institusi telah hancur dan oligarki telah menjadi-jadi. Soal pembangunan infrastruktur, disebut bahwa: if a bit of corruption helps the process, fine. The Economist memberi judul kolom tersebut dengan “Suharto with saw”[26].

Jika pemerintahan kita bersih dan rakyatnya cukup punya kesadaran, visi kemajuan pun akan mudah diwujudkan. Kita tidak perlu repot menambal sulam kekurangan infrastruktur sana-sini. Kita juga akan hemat triliunan anggaran yang pada gilirannya dapat digunakan membangun infrastruktur tanpa sponsor asing. APBN juga bisa gemuk. Pemasukan negara dari non-pajak juga akan maksimal.

Yang dibutuhkan Indonesia adalah perubahan besar-besaran di level pemikiran. Rakyatnya harus dibuat melek, bahwa ada problem sistemis menjangkiti bangsa ini. Birkorat korup dan mental pemburu rente mesti diberantas. Demokrasi yang mahal harus diakhiri. Kita perlu semacam revolusi akhlaq, yang akan melahirkan pemimpin bermutu, yang paham bahwa negara adalah pelayan rakyatnya, yang di akhirat nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Wallahua’lam. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun