Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhurrozi
Muhammad Fatkhurrozi Mohon Tunggu... Insinyur - fantashiru fil ardh

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cuma 'Mimpi' Khilafah

24 April 2017   20:44 Diperbarui: 25 April 2017   15:00 7173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acara kolosal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berlangsung sepanjang bulan April 2017 di beberapa kota besar itu mengambil judul “Masirah Panji Rasulullah”. Meski sukses di beberapa kota, namun acara serupa di kota-kota lainnya berusaha dijegal oleh sekelompok oknum yang gagal paham. Beberapa kalangan merasa terancam dengan manuver kelompok yang cuma ‘mimpi’ itu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “mimpi” memiliki dua makna: 1) sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur; dan 2) angan-angan. Sedangkan “memimpikan” artinya 1) bermimpi akan sesuatu; 2) mencita-citakan. Dari definisi yang kedua, dapat disimpulkan bahwa jika ada orang yang memimpikan khilafah, berarti dia memiliki cita-cita untuk mewujudkan khilafah. Artinya, bermimpi mewujudkan sesuatu adalah hal yang wajar yang biasa dilakukan manusia. Dia bukan sesuatu yang identik dengan “ngelindur” atau mengharap yang tidak-tidak sekalipun cita-cita tersebut teramat berat.

Meski cita-cita khilafah itu dicap sebagai mimpi di siang bolong, nyatanya ada oknum-oknum yang ngos-ngosan menjegal acara-acara HTI. Ini tentu mengundang tanda tanya; apakah khilafah benar-benar sebuah ancaman?

Ada banyak dalil yang mengabarkan akan kembalinya khilafah atau akan kembalinya kaum muslim berkuasa. Ada yang jadi kontroversi ada yang tidak. Yang paling mengundang kontroversi adalah hadits riwayat Imam Ahmad. Tapi terlepas dari kontorversi tersebut, kemungkinan tegaknya khilafah adalah hal yang masih (bahkan semakin) asyik untuk dibincangkan. Ulasan berikut ini mungkin sedikit mengungkapkan bagaimana khilafah itu adalah masa depan yang tidak terelakkan.

Early Minority

Orang-orang mengira, perjuangan menuju khilafah itu sangat sulit (kalau tidak dikatakan mustahil), mengingat jumlah pejuangnya yang sangat sedikit dibanding dengan populasi manusia keseluruhan (paling tidak untuk hari ini). Ini tentu tidak dapat dijadikan landasan kemustahilan akan tegaknya khilafah. Secara self-evident, sesuatu yang besar itu pasti bermula dari yang kecil yang kemudian berproses. Sejarah juga telah berbicara, bahwa setiap perubahan besar itu pasti bermula dari kelompok kecil. Dulu keberhasilan Rasul SAW mendirikan negara di Madinah juga awalnya berbekal segelintir orang. Perubahan besar di Madinah terjadi ketika kelompok dakwah Rasul SAW berhasil mempengaruhi pembesar suku Auz dan Khazraj di Madinah.

Secara teori, kapanpun dan dimanapun, jumlah para pengemban ide itu memang selalu minoritas kecil dari populasi. Gambar 1 menunjukkan distribusi normal yang biasa dipelajari di kuliah statistik.

Gambar 1. Distribusi normal dukungan terhadap suatu ide
Gambar 1. Distribusi normal dukungan terhadap suatu ide
Gambar 1. Distribusi normal dukungan terhadap suatu ide

Dunia hari ini memang sulit untuk bisa di-dikotomi-kan menjadi “kiri” dan “kanan”. Namun jika diambil satu konteks saja, yakni perjuangan khilafah, tentu saja bisa. “Kanan” berarti para pejuang khilafah dan “kiri” berarti yang anti khilafah (misalnya oknum ormas tertentu, oknum rezim, dll).

Kunci perubahan masyarakat adalah kesadaran umum. Kesadaran umum adalah kecenderungan suatu masyarakat untuk mengambil sebuah sistem tertentu untuk diterapkan di tengah-tengah mereka. Kecenderungan tersebut berada dalam genggaman tokoh-tokoh masyarakatnya. Dulu para pembesar suku Auz dan Khazraj di Madinah-lah yang membentuk kesadaran umum di sana. Setelah pembesar-pembesar tersebut berhasil dirubah pola pikirnya menjadi pola pikir Islam, barulah Madinah siap untuk menjadi negara Islam pertama yang dikepalai oleh Rasul SAW.

Kesadaran umum itulah yang diperjuangkan oleh kelompok kanan (nomor 1) -sebagai “early minority”- hari ini. Sedangkan nomor 2 (bukan nomor Pilkada DKI, hehe) adalah kelompok yang sepakat dengan ide nomor 1 namun hanya belum ambil bagian penuh. Kelompok 3 adalah kelompok mayoritas. Mereka adalah orang-orang yang tidak cenderung pada kanan atau kiri. Apapun sistem yang berlaku di masyarakat, bagi mereka tidak masalah.

Secara sederhana, perjuangan kelompok 1 adalah perjuangan untuk menarik sebanyak mungkin orang di kelompok selain 1 (terlebih kelompok 5 dan 4 yang saat ini begitu berkuasa) dengan merubah pola pikirnya dan kemudian dapat digolongkan menjadi kelompok 1 atau minimal kelompok 2. Perubahan pola pikir tersebut diusahakan dalam bentuk dakwah pemikiran berupa diskusi atau kontak. Di sinilah mengapa aktifitas kontak individu oleh pengemban ide dengan ‘mangsa’ dakwah mengambil peran sentral dalam perubahan kesadaran umum. Di tengah usaha tersebut nantinya (tidak semua individu di kelompok 5 dapat ‘dihijrahkan’), pada level tertentu, akan mencapai suatu titik dimana kesadaran umum tersebut bertemu sebuah persimpangan jalan. Masyarakat, dengan segenap kesadaran, akan sampai pada pilihan “mempertahankan sistem yang ada” atau “mengambil sistem yang baru”.

Kecenderungan tersebut makin hari makin kentara. Hal ini bisa dirasakan, bahwa iklim ke-syari’ah-an semakin hari semakin mengental di masyarakat kita. Temuan Wahid Institute –terlepas motif politik di belakangnya- pada pertengahan Februari 2017, didapat bahwa 60 persen responden pelajar rohis setuju berjihad di wilayah konflik. Sedangkan 37 persen sangat setuju dan 41 persen responden setuju seharusnya umat Islam bergabung dalam satu kesatuan kekhalifahan. Survei Pew Research pada 2011 mengungkap bahwa 72% persen Muslim Indonesia mendukung hukum Islam sebagai hukum resmi negara ini. Di perguruan tinggi, ITB misalnya, survei pada penghujung 2014 didapat bahwa hanya 6% yang tidak setuju khilafah.

Time will tell

Jika kita mau sedikit belajar sejarah, sebenarnya pergiliran kekuasaan bahkan pergantian corak suatu masyarakat adalah sebuah kemestian yang tidak terhindarkan. Kerajaan Prancis habis akibat revolusi pada 1789. Kekaisaran Tsar di Rusia pernah benar-benar tumbang lalu berganti menjadi negara komunis Soviet pada 1917. Hindia Belanda pun berrevolusi menjadi Indonesia pada 1945 (yang baru diakui oleh Kerajaan Belanda pada 1949). Dan masih banyak contoh lainnya.

Manusia selalu mencari jalan untuk tegaknya keadilan menurut apa yang relevan pada saat itu. Artinya, sistem apa yang diterapkan dalam suatu masyarakat itu adalah hasil situasi politik. Jika situasi politik memungkinkan, maka tidak hanya pergantian orang saja, bahkan pergantian sistem pun dianggap relevan.

Dulu, ketika era 1910an, mungkin tidak terpikir oleh HOS Cokroaminoto bahwa ide “zelfbestuur” (kedaulatan sendiri) akan menginspirasi pemuda-pemuda untuk berjuang melepaskan diri dari Pemerintahan Belanda. Ide untuk merdeka terus bergulir dengan berdirinya berbagai wadah perjuangan pemuda yang melahirkan sosok-sosok seperti Soekarno, M. Hatta, M. Natsir, dan sebagainya. Perjuangan itu pun kemudian menemukan momennya pada 1945. Pertanyaannya, apakah generasi Cokroaminoto telah memprediksi bahwa ide perjuangannya akan membawa perubahan besar bagi bumi Nusantara di 30 tahun ke depan?

Untuk memprediksi kemungkinan suatu tantanan masyarakat yang benar-benar baru akan lahir tidak bisa digunakan asumsi-asumsi yang terjadi pada zamannya. Harus digunakan suatu predictive modelling yang dapat menjadi landasan asumsi untuk memperkirakan kondisi di masa depan. Jika hari ini para pejuang khilafah itu belum didukung –bahkan sekedar didengar- oleh para pembesar-pembesar ummat, namun tidak bisa dikatakan bahwa kondisi tersebut akan terus berlangsung dan khilafah tidak mungkin tegak. Namun jika kita melihat trennya (walau perkembangannya amat lambat) bukan tidak mungkin bahwa para pembesar-pembesar ummat itu suatu saat akan condong pada ide khilafah.

Jika mau sedikit kritis, pembesar-pembesar ummat yang duduk di berbagai posisi penting hari ini –yang masih cenderung pada kelompok 4 dan 5- itu adalah para penikmat bangku kuliah di tahun 70an-80an. Itu adalah zaman dimana “dakwah Islam transnasional” belum ditemui di kampus-kampus. Mereka adalah hasil didikan rezim yang cenderung represif terhadap Islam saat itu. Namun kondisinya jauh berbeda bila membandingkan mereka dengan intelektual muda yang hari ini mulai berderap menduduki posisi-posisi penting di negeri ini. Saat ini misalnya, kita merasakan bahwa kehadiran dosen-dosen muda di kampus-kampus negeri maupun swasta, memang lebih relijius. Mereka adalah produk kampus era 90an hingga 2000an yang mana dakwah kampus sudah mulai terbuka dengan berbagai macam ide-ide Islam revivalis. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang termasuk diantara para pejuang khilafah. Maka melihat kondisi 10 hingga 20 tahun ke depan, bukan tidak mungkin jika para pembesar-pembesar di negeri ini adalah mereka-mereka yang pernah hadir di suatu forum yang berbicara soal khilafah.

---

Wapres Jusuf Kalla, pada pertengahan Agustus 2016, mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang terkandung UUD 1945 bukan sesuatu yang sakral. Ia mengatakan, sejak Indonesia berdiri hingga saat ini, setidaknya pemerintah telah menjalankan tujuh UUD. Perubahan tersebut, kata dia, juga berimplikasi terhadap perubahan sistem kenegaraan. Perubahan itu mulai dari sistem negara kesatuan dengan presidensil, federal, parlementer liberal, dan kembali lagi ke presidensil. "Ini juga menandakan bahwa bangsa ini sangat dinamis. Sama dengan bangsa-bangsa lain bahwa UUD dibuat sesuai kebutuhan pada saat itu," kata Kalla.

Dengan merenungi fakta-fakta serta kata-kata pak wapres di atas, akan kita dapati bahwa sebenarnya perubahan suatu negara menjadi bentuk yang sama sekali baru adalah sesuatu yang lumrah. Jika suatu saat masyarakat menilai bahwa khilafah adalah ide yang relevan dan dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa yang terlampau rumit, maka kehadirannya bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

Khilafah juga bukanlah sebuah nostalgia yang tanpa makna seperti yang dikatakan Mohsin Hamed dalam artikelnya di TheGuardian. Dia mengungkapkan, bahwa opini semacam “tegakkan khilafah” adalah ajakan untuk kembali masa lalu yang senafas dengan “Take Control Back”-nya Brexit atau “Make America Great Again”-nya Trump yang kontroversial. Jauh daripada itu, khilafah punya dasar ideologis dan historis yang kuat. Perbincangan tentangnya hari ini semakin mendapat tempat di tengah-tengah ummat, di kolom-kolom kompasiana, hingga di linimasa media sosial.

Belajar dari sejarah, bahwa terbuka terhadap hal yang baru dan selalu berkembang adalah sikap yang bijak daripada berpikiran tertutup dan mempertahankan statusquo. Sebagai sebuah ide, perjuangan khilafah haruslah dilawan dengan ide, bukan dengan otot. “Berani bermimpi”, karena dari mimpi itulah semangat hidup bermula. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun