Dulu, saya termasuk anti dengan sesuatu yang berbau-bau marketing. Dalam dunia kerja saya selalu menghindari posisi untuk menjadi seorang marketing. Sudah terbayang di kepala saya betapa beratnya tanggung jawab seorang marketing (Marketer). Kebetulan teman saya ada yang bekerja sebagai marketing sepeda motor. Beberapa kali saya melihat dia harus turun ke jalan, menawarkan brosur pada orang yang lalu lalang di jalanan. Kadang brosur tersebut disambut, tapi lebih sering tidak. Kalaupun ada yang mengambil brosur dari tangannya, kadang brosur tersebut malah dibuang begitu saja di tengah jalan.
Tak jauh beda dengan teman saya yang lain. Dia bekerja sebagai marketing kartu kredit. Status facebooknya penuh dengan penawaran pembuatan kartu kredit dan keuntungan memiliki kartu kredit yang ditawarkannya. Saya pernah bertanya pada mereka berdua.
"Bagaimana  sih  rasanya bekerja sebagai seorang marketing?"Â
"Capek Ris, di target,ini mah nunggu dapat kerja yang lain, kalo udah dapat nanti mah langsung keluar aja" jawaban mereka kurang lebih sama.
Bukan hanya karena capek, gaji pokok yang kecil, tekanan karena target, dan harus berbusa-busa menawarkan produk pada orang lain, faktor gengsi dan malu juga jadi pertimbangan saya untuk tak menjadi seorang marketing. Sekalipun banyak seminar yang menunjukkan bagaimana para marketing yang sukses itu bisa kaya raya, namun saya masih tak percaya. Lagian, kalaupun itu benar saya tetap  akan memilih pekerjaan lain daripada menjadi seorang marketing.
Sesuatu Yang Jarang Disentuh itu bernama pola pikir
Sebaris kalimat di atas adalah ucapan Deden Hairuman Azam, ketua Yayasan Seruni ( Yayasan Seruan Hati Nurani ) Foundation pada saya saat saya bermaksud mewawancarainya. Perkenalan saya dengan beliau berawal dari penelitian skripsi yang waktu itu tengah saya lakukan. Saat saya tengah meneliti usaha yang mereka jalankan, yaitu menjual produk kerudung, disitulah pola pikir saya berubah total tentang dunia marketing.
"Semua orang bisa jualan, asal diberi aksesnya." Ujar pak Azam, begitu saya memanggilnya. Yayasan Seruni tak ingin sekedar berpangku tangan pada donatur. Oleh sebab itulah Seruni yang adalah yayasan untuk membantu kaum dhuafa ini terjun ke dunia Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Seruni tak membangun pabrik untuk memproduksi kerudungnya, melainkan memberdayakan para penjahit lokal di lokasi sekitar agar kembali produktif. Juga dalam hal memasarkan, Seruni memanfaatkan para anak didiknya, yang berasal dari SMA (Sekolah Menengah Atas) untuk menjual produknya.
Dulu Dagang Gorengan, Sekarang Sudah Jadi Pelatih Marketing