Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Meningkatkan Ketelitian untuk Hasil Kerja yang Maksimal

24 November 2016   09:05 Diperbarui: 15 April 2019   14:25 10637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya saya bukan tipe orang detail, tapi karena tuntutan pekerjaan, jadi mau tak mau harus bekerja dengan tuntutan memahami dan menguasai detail. Walaupun bekerja dengan detail memang di butuhkan semua profesi untuk mencapai hasil maksimal, namun di dunia ini ada saja profesi yang menuntut sebuah kinerja yang detail dengan tingkat keakuratan yang seratus persen benar.

Contohnya saja seorang pilot, saat dia menerbangkan pesawat maka dia wajib bekerja dengan tingkat keakuratan seratus persen, atau, meminjam istilah salah seorang tokoh manajemen mutu berkebangsaan Amerika Philips Crosby yang mempromosikan istilah zero defect, atau bekerja tanpa cacat. Bayangkan jika seorang pilot salah memencet tombol, atau salah melakukan pendaratan, mendarat di tengah laut yang banyak ikan hiu misalnya, berapa banyak manusia yang akan kehilangan nyawanya?

Right first time, ujar Philips Crosby, untuk menekan kesalahan sampai pada tingkat nol persen. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin kita menoleransi terlalu banyak kesalahan sebab dampaknya tidak terasa. Namun cobalah hal itu di dunia kerja, maka semua bakal berantakan. Kita bisa jadi bulan-bulanan hingga dipermalukan.

Contoh kecil saja, misalnya saat seorang admin gudang salah meng-input data barang rusak dengan barang bagus, tentu hal tersebut akan menyebabkan kacau nya jumlah stock barang di sistem dengan jumlah barang secara faktual di gudang. Ini hanyalah contoh bahwa beberapa profesi tertentu memang menuntut sebuah hasil tanpa kesalahan sedikitpun. Sebab kesalahan sekecil apapun dapat berakibat fatal dan merugikan.

Nah tentu untuk mencapai pekerjaan yang tanpa cacat atau kesalahan ini dibutuhkan sebuah ketelitian, fokus, dan energi yang besar. Nah dari hasil pengamatan dan pengalaman saya ternyata ada beberapa kebiasaan yang dapat dibangun agar kita bisa menjadi seorang yang menelurkan hasil kerja, yang minimal terhindar dari kesalahan-kesalahan umum.Beberapa kebiasaan itu antara lain;

1. Stamina untuk Membaca Berulang-Ulang

Beberapa kali saya secara pribadi sering salah dalam mengirim laporan, ada saja yang salah. Kalau tidak tanggal nya, namanya, ya kadang juga terjadi typo. Begitu di tegur barulah sadar. Sama halnya dengan menulis, bukankah terkadang kita salah meletakan kata hingga kalimat yang menyebabkan tulisan kita sulit di mengerti oleh pembaca. Semua kesalahan itu saya yakin sumbernya sama, yaitu mengerjakan dengan terburu-buru dan malas membaca ulang apa yang sudah kita kerjakan.

Hal ini saya sadari saat saya melihat seorang teman yang saat membuat laporan kok lama sekali. Kadang saya tidak sabar, tapi dia kok betah banget di depan komputer. Ternyata dia memang membaca ulang laporannya, dicek satu persatu, kalimat-kalimat yang ganjil dia ganti hingga dapat di mengerti, segala sesuatu yang telah diinput dicek ulang siapa tahu terjadi kesalahan.

Itulah yang membuat saya berkesimpulan, bahwa untuk menelurkan hasil kerja yang  zero defect sebenarnya tidak dibutuhkan ilmu yang melangit-langit. Semua hanya soal stamina untuk memberi perhatian lebih lama, dan mau menelan rasa bosan untuk mengecek ulang apa yang telah kita kerjakan. Segala sesuatu yang di kerjakan pertama kali tentu tak lepas dari kesalahan, oleh sebab itu dengan energi untuk membaca ulang kita dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan kerja, untuk menekan kesalahan sekecil mungkin.

2. Menundukan Otak pada Tubuh

Dalam kasus tertentu informasi yang sama terkadang memiliki makna yang berbeda. Misalnya nih, saat kita mengecek hutang karyawan pada bagian piutang. Bulan lalu kita cek masih satu juta, tiga bulan kemudian kok masih satu juta lalu kita pun marah-marah karena berpikir karyawan tersebut tidak membayar hutangnya. Padahal kenyataanya karyawan tersebut telah melunasi hutangnya bulan lalu, tapi meminjam lagi dengan nominal yang sama.

Kalau sudah begini salah siapa? Tentu salah yang melaporkan dan yang membaca laporan karena langsung marah-marah. Itu sebab dalam mengerjakan laporan jangan lupa buat kolom keterangan atau gunakan insert coment yang tersedia di Microsoft Office sebagai catatan kaki yang memberi keterangan pada sebuah data yang mungkin bersifat kasuistis.

Hal-hal kecil seperti ini juga bisa menghindari agar hasil kerja kita tidak dicap salah dan asal jadi. Memberi keterangan pada sebuah data juga adalah bagian dari detail, dibutuhkan kerajinan dan sifat yang apik untuk mengerjakan hal-hal seperti ini. Jadi berpikir dengan cermat dan teliti ternyata bukanlah sebuah pemikiran murni atau sebuah ilham dari langit. 

Yang saya amati, orang-orang yang teliti adalah orang yang menundukkan otaknya agar tunduk dan fokus pada gerak tubuh untuk mengecek ulang sebuah hasil kerja. Oleh sebab itu dibutuhkan pendisiplinan diri untuk lebih sabar dalam mengerjakan sesuatu jika kita ingin menjadi orang yang teliti dan cermat.

3. Kecerdasan yang Lahir dari Tanggung Jawab Bukan Otak

Dalam berbagai kesempatan coba cek apakah orang yang mengecek pekerjaan kita jauh lebih pintar dari kita? Saya berani bilang tidak, malahan kita bisa jauh lebih pintar dari mereka. Tapi kenapa mereka di percaya untuk berada di atas dan mengawasi pekerjaan orang lain? Itu karena mereka punya sense of belonging yang lebih tinggi dibandingkan orang lain di sekitarnya.

Sebenarnya menjadi orang yang teliti dan cermat itu tidak ribet kok. Yah ibaratnya kita punya pacar kalau kita sayang sama dia pasti kita perhatiin terus kan, bahkan kalau perlu kita minta dia selfie tiap hari terus minta foto nya dikirim ke kita untuk memantau apakah wajahnya pucat atau tidak, dia sehat atau tidak. 

Jadi selain membangun kebiasaan secara rutin, menumbuhkan perasaan memiliki atas apa yang kita kerjakan dan di mana kita bekerja juga dapat membentuk kita menjadi orang yang teliti. Sebab toh semua hanya berawal dari rasa care, tidak lebih tidak kurang. Kalau sudah peduli dan merasa memiliki pasti ketelitian itu datang sendirinya.

Walaupun teliti itu bukan soal rasa, tapi lebih kepada metode kerja, namun jika memiliki rasa tentu kita dapat mengerjakanya dengan perasaan senang dan gembira.Sudah ya jangan bahas soal rasa, nanti baper.

4. Melatih Jam Terbang & tak Sekadar Berpikir Global

Satu lagi cara natural untuk menjadi teliti adalah soal jam terbang. Makin sering dikerjakan maka sikap untuk bertindak detail dan pasti itu akan muncul dengan sendirinya. Contoh misalnya dalam hal memberi informasi,

 “Kata si anuuu sih gini pak..”

“Si anu siapa?”

“Denger-denger aja sih.”

Nah bukankah terkadang kita sudah puas hanya sampai pada kata si anu dan kabar angin. Untuk mengerjakan sesuatu dengan detail maka kita tak cukup sekedar berpikir global, kita juga harus berpikir secara spesifik. 

Dengan berpikir secara spesifik maka kita akan terbiasa untuk memastikan siapa sumber informasi kita (kata siapa bukan kata si anu). Lama-lama jika sudah terbiasa maka kita akan secara spontan saja dalam memastikan sesuatu.Jam terbang membuat kita tahu seluk beluk, medan, dan celah-celah (kecurangan misalnya) dalam mengerjakan sesuatu.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat, bahwa ketelitian adalah salah satu sifat seorang ahli yang mungkin bermanfaat secara universal untuk kehidupan kita. Misalnya kita belanja, bukankah kita selalu menghitung kembalianya secara spontan? Itu karena kita tidak mau rugi, karena ada rasa memiliki. Jadi teliti adalah perpaduan soal perasaan dan kebiasaan, bukan takdir atau efek gen mutlak yang dimiliki seseorang.

Seperti yang saya bilang, banyak tipe-tipe orang yang memang malas berhadapan dengan angka dan berpikir detail, tapi karena tuntutan pekerjaan, akhirnya mau tak mau harus membiasakan diri dengan tuntutan dan situasi. Bukankah lolos dalam seleksi menjadi orang yang teliti berarti kita juga lolos dalam beradaptasi. Bukankah keteledoran banyak lahir dari sikap asal jadi? Bukankah negara ini hancur karena para pemimpinya cuek bebek dan tak teliti dalam mengambil kebijakan? Halahhhh saya ngomong apa sihh.

Boleh setuju boleh tidak

Penikmat yang bukan pakar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun