Kemajuan teknologi digital mengubah wajah dunia sangat progresif dan masif. Tak terkecuali bahasa daerah mengalami efek disrupsi akibat transformasi komunikasi teknologi digital 4.0. Komunikasi digital menghadirkan pilihan bahasa yang mencerminkan perubahan perilaku berbahasa dan gaya berkomunikasi masyarakat global.
Darvin (2016) mengindikasikan kondisi tersebut dengan adanya “ledakan” kosa kata baru, aliran, dan model berkomunikasi yang menandakan kehadiran suatu identitas dan kelompok baru.
Bahasa kedua atau bahasa asing menjadi bahasa “mainstream” dalam komunikasi global sesuai selera pasar. Bahasa-bahasa tersebut digunakan secara luas oleh mayoritas pengguna media digital untuk berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai kalangan, wilayah, bahkan lintas negara dan benua.
Dalam konteks kita, misalnya, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris paling dominan digunakan dalam media digital selain bahasa-bahasa asing lainnya.Tidaklah mengherankan jika bahasa kedua atau bahasa asing menjadi preferensi utama bagi mayoritas pengguna media digital (Palfry dan Glasser, 2008).
Dalam perspektif utopia, kehadiran komunikasi digital memberi kontribusi besar bagi akselarasi komunikasi global serta kemajuan aspek kehidupan lainnya. Meskipun, tidak bisa disangkal teknologi digital berdampak negatif, seperti erosi budaya, ancaman pergeseran dan kepunahan bahasa daerah.
Saat ini, ancaman tersebut semakin menguat dan nyata dalam praktik komunikasi digital. Bahasa daerah menjadi semakin termarginalkan karena kurang populer bagi kalangan generasi digital “digital native” untuk komunikasi global .
Ancaman kepunahan bahasa-bahasa minoritas di dunia telah dikemukan oleh banyak ahli bahasa berdasarkan hasil riset. Peluang kepunahan bahasa semakin terbuka lebar mengingat hanya 3% dari total 6000 bahasa digunakan oleh kurang lebih 96% masyarakat dunia (Bernard, 1996). Itu berarti bahwa terdapat banyak bahasa-bahasa minoritas yang sangat rentan dengan resiko kepunahan.
Bahkan sebuah prediksi yang dianggap ekstrim dan pesimitis dikemukakan oleh Crystal (2000) bahwa setiap dua minggu satu bahasa akan lenyap pada era 100 tahun ke depan.
Meskipun ini hanya sebuah spekulasi yang prematur dan naif, hal demikian menjadi awasan yang sangat penting bagi kita. Di Indonesia, menurut Lewis, dkk (2013), ancaman kepunahan bahasa sangat akut karena banyak bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur kurang dari 100.000 (dalam Ravindranath & Cohn, 2014).
Di era digital ini, ancaman kepunahan bahasa semakin masif karena persaingan dan dominasi bahasa-bahasa besar, seperti bahasa kedua atau bahasa asing. Suka atau tidak, bahasa daerah kita harus berhadapan dengan dominasi bahasa kedua atau bahasa asing. Bahasa yang memenangkan persaingan memiliki korpus data besar dan sangat memadai di ruang digital.
Bahasa-bahasa minoritas yang kalah dalam persaingan akan punah secara digital (Kornai, 2013). Selain itu, gempuran wacana dan perkembangan literasi masa kini yang juga sudah bergeser dari sekadar baca tulis ke dimensi literasi digital yang lebih kompleks, dimana posisi bahasa daerah juga ikut tergeser.