Mohon tunggu...
Toat Mucharif
Toat Mucharif Mohon Tunggu... Profesional -

Mengembalikan hidup ke asalnya yang sederhana....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Caleg Gagalku Gagal

18 Maret 2019   14:57 Diperbarui: 18 Maret 2019   15:47 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi menjelang siang itu, seperti biasa Kang Darno, Kang Cardi, Kang Soleh dan Kang Yadi istirahat setelah menyangkul sebagian sawah di warung Mbok Dumi, penjual warung kopi yang dulunya cantik dan jadi idola di kampung. Sepanjang perjalanan menuju warung, dengan badan yang telah lelah dengan bercucur keringat mereka bercerita tentang Pak Wahab, bekas pejabat di Kantor Pemda yang sekarang baru sakit setelah kalah di pilihan legislatif. Sepanjang perjalanan mereka terheran-heran kenapa Pak Wahab yang sudah pensiun dan hidup mapan kok mau-maunya nyalon jadi DPRD Kabupaten yang katanya pasti korupsi kalau sudah duduk dikursi yang empuk itu.

Sampai di warung, mereka ketemu Pak Diono, kaur desa yang hobinya ngopi dan ngobrol apa saja, dan kebeneran Pak Diono juga sedang ngobrol caleg dengan Mbok Dumi yang hanya ngangguk-ngangguk entah ngerti apa tidak, tapi yang jelas dia melayani pelanggannya dengan baik.

Bagai ketemu jodohnya, Kang Soleh langsung nyaut saja obrolan Pak Diono dengan Mbok Dumi.

"Ya itu Pak Di, orang udah kaya, tinggal ngabisin umur aja kok mau-maunya Pak Wahab, dirayu sama orang-orang yang mau meras dia", kata Kang Soleh dengan duduk nangkring sambil makan ubi goreng kesukaannya.

"Iyyaaa, kasihan tuh anak-anaknya sekarang harus repot pulang pergi dari Jakarta hanya untuk ngurusin Bapaknya yang sering ngomel, ngobrol dan teriak-teriak sendiri", sambung Pak Diono, yang sejak kecil jadi teman main Pak Wahab.

Begitulah, obrolan diwarung Mbok Dumi semakin menarik dan saling sambung diantara mereka, karena mereka merasa iba dengan pak Wahab, yang telah jadi korban yang katanya demokrasi.

Esok harinya, dirumah Pak Wahab ramai tetangga-tetangga berkumpul diteras rumahnya. Hari ini Pak Wahab tidak hanya teriak-teriak saja, tapi dia lempar apa yang didepannya, sambil teriak-teriak.

"Hai! Juki mana! Juki mana! Juki mana!", teriak dia sambil bawa parang dari belakang rumahnya. Si Juki merupakan orang kepercayaan Pak Wahab, waktu pileg kemarin. Kata orang-orang Pak Wahab banyak kasih uang ke Juki, untuk dibagikan ke konstituen agar memilih Pak Wahab. Tapi, isunya Juki tidak membagikan semuanya, banyak yang ada didaftar yang diserahkan ke Pak Wahab, ternyata tidak dapat uang.

Pak Wahab, masih saja teriak sambil menyebut nama Juki. Orang-orang ketakutan meskipun tetap waspada didepan rumahnya. Si Andi, anaknya yang paling besar yang kerja di Jakarta itu, ketakutan dan hanya mampu bilang: "Bagaimana ini, bagaimana ini Lek Kadir", kata Andi dengan nada yang sangat kuatir dengan polah bapaknya yang semakin tidak bisa dikendalikan kepada Lek Kadir, adik satu-satunya Pak Wahab yang dari kemarin stand by dirumah untuk jagain Pak Wahab, meskipun Lek Kadir harus ninggalin 3 anaknya dikampung sebelah.

Lek Kadir mencoba menenangkan Andi, meskipun Lek Kadir juga bingung sebenarnya.

"Tenang Ndi, tenang, Lek Kadir nanti yang urusin Bapakmu", kata Lek Kadir mencoba menenangkan Andi yang sudah mulai panik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun