Di rumah pak Tjokro aku mulai berlatih pidato, di kamarku yang sempit sambil berdiri di atas meja aku berteria sangat keras meskipun kemudian mendapat ejekan dari teman se-kosku mereka bilang aku gila, aku sakit. Tapi kemudian mereka menemukan jawabannya bahwa sukarno hanya ingin menyelamatkan dunia.
Aku mulai tertarik politik, pergaulanku semakin luas, termasuk dengan kawan-kawan Pak Tjokro. Setiap hari para pemimpin partai lain atau pemimpin cabang Sarekat Islam datang bertemu pak Tjokro. Bahkan mereka bisa tinggal disana selama beberapa hari.
Terkadang aku membagi tempat tidurku dengan salah satu pemimpin organisasi tersebut dan berbincang hingga fajar tiba.
Pada suatu ketika , dalam acara makan malam, mereka mengobrol tentang kapitalisme dan hasil bumi yang diangkut dari Hindia Belanda untuk memperkaya Negeri Belanda. Akupun bertanya dengan suara pelan 'berapa banyak yan diambil Belanda dari Tanah kita? '. Pak Tjokro menjawab 'De Vereenigde Oost Indische Compagne mengambil atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag'.
Petani kita mengucurkan keringat, kelaparan, kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli diantara bangsa-bangsa.
Sarekat Islam bekerja untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan mosi-mosi kepada pemerintah. Rakyat kita sudah berjuang melawan system ini berabad abad lalu, akan tetapi tetap tidak berhasil karena mereka selalu berjuang sendiri-sendiri. Masing-masing beperang dengan pengikut yang kecil di daerah yang terbatas.
Pemikir dari India, Swami Vivekananda menulis,'jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan, pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan'.
Lalu aku mulai menganalisis situasi negeriku, aku menyadari bahwa tidak ada alasan bagi pemuda Indonesia untuk menikmati kesenangan dengan melarikan diri ke alam fantasi. Aku menghadapi kenyataan bahwa negeriku miskin, malang, dan dihinakan.
Pada suatu hari aku berdiri selama satu jam diatas jembatan yang melintasi sungai kecil dan memandang iring iringan manusia yang tidak ada henti-hentinya. Aku melihat petani yang berjalan lesu menuju rumahnya yang buruk.Â
Lalu aku melihat kolonialis Belanda duduk diatas kereta terbuka yang ditarik oleh 2 ekor kuda yang gagah. Aku melihat saudara -- saudaraku yang berkulit sawo matang terlihat kotor, bau, dan bajunya compang camping. Aku bergumam dalam hati 'apakah orang bisa tetap bersih jika mereka tidak punya pakaian lain untuk ganti?'.
"apa yang bisa Bung lakukan pada saat itu?" tanyaku.